BAB 4

678 122 5
                                    

"Manika," panggil Wening.

Ia dan beberapa pelayan wanita memasuki kamar yang Tatjana tempati. Mereka membawa beberapa barang dan meletakkannya di salah satu bagian kamar. Tatjana sama sekali tidak bergerak, seolah tidak terganggu dengan panggilan Wening. Wening lalu menatap pelayan itu dan meminta mereka untuk pergi. Setelah para pelayan pergi, ia berjalan ke dipan yang kini sedang Tatjana tempati.

Disentuhnya lengan Tatjana yang tidak ditutupi oleh selimut. "Manika, kamu harus bangun. Matahari memang belum terbit, tapi ada banyak hal yang harus kamu persiapkan."

Perlahan, Tatjana membuka matanya. Ia masih sangat mengantuk, padahal ia sudah tidur dengan waktu yang lama. Entah mengapa, ia selalu merasa lelah, seolah baru saja melakukan perjalanan jauh. Matanya menangkap barang-barang yang terletak di sudut kamar ini. Mata wening mengikuti arah pandang Tatjana dan tersenyum.

"Ini adalah hari besar," katanya. "Utusan Balwanadanawa dari medan perang mengabarkan kalau Yang Mulia Raja beserta para prajurit berhasil memenangkan peperangan."

Kening Tatjana berkerut. Lalu, apa hubungannya dengan dirinya?

"Istana Balwanadanawa akan mengadakan pesta untuk rakyat atas kemenangan Yang Mulia Raja dan Pangeran Mahkota. Tapi, terlebih dari itu, ada hal yang harus kamu lakukan," kata Wening lagi.

"Apa?" tanya Tatjana bingung.

Wening tersenyum. "Ayahmu adalah seorang panglima perang. Jadi, kamu harus berdoa dan berterima kasih kepada para dewa yang sudah menjaganya."

"Oh, ya, seharusnya aku melakukan itu," kata Tatjana.

Benar. Tatjana lupa kalau sekarang, ia bukanlah Tatjana. Ia adalah Manika, putri dari seorang panglima perang. Ia lupa akan hal itu. Maka dari itu, ia bangun dengan malas dari dipannya. Bagaimanapun, ia harus melakukan hal yang biasa dilakukan oleh Manika. Ini adalah bentuk rasa terima kasihnya kepada wanita yang sekarang entah berada di mana.

Ia berusaha untuk membuat wajahnya terlihat biasa saja, karena ia harus terlihat biasa saja agar Wening tidak curiga.

"Um.. itu apa?" tanya Tatjana sambil menatap tumpukan barang-barang yang ada di salah satu sudut kamar.

"Itu adalah pakaian dan perhiasan yang harus kamu kenakan untuk berdoa," jawab Wening.

Baiklah, sepertinya ia tidak perlu menanyakan apapun karena semakin banyak pertanyaan yang ia tanyakan, maka Wening pasti akan merasa semakin aneh dengan dirinya.

Ketika ia sedang terdiam sambil memikirkan hal itu, Wening tiba-tiba saja menyentuh tangannya. "Yu, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu melupakan banyak hal?"

Tatjana makin terdiam karena melihat raut sedih di wajah Wening. Sebenarnya, ia ingin tahu mengapa Wening memanggilnya dengan sebutan 'Yu' sementara yang ia tahu, nama wanita yang sekarang adalah dirinya ini adalah Manika. Apakah itu adalah nama masa kecil Manika?

"Aku sangat sedih melihat keadaanmu," kata Wening lagi.

"Aku.. mungkin aku hanya perlu beberapa waktu sampai semua ingatanku kembali," kata Tatjana dan seketika mulutnya terasa kering.

Ia tidak akan pernah mendapatkan ingatan tentang Manika, karena jiwa mereka jelas berbeda. Namun, ia tetap saja mengatakan kebohongan itu. Dan hatinya terasa semakin sakit ketika melihat sebuah senyuman terbit di bibir Wening.

"Aku tahu kamu akan mengingat semuanya, Yu."

"..."

φ

Setelah selesai memakai semua pernak-pernik yang harus ia kenakan, Tatjana dan rombongannya sedang berjalan menaiki sebuah bukit. Wening menjelaskan bahwa di atas bukit itu, ada sebuah kuil yang biasa digunakan Manika untuk berdoa. Ia menatap orang-orang yang bersamanya ini dan yakin kalau mereka menang terbiasa menaiki bukit karena reaksi mereka yang biasa saja, berbeda dengan dirinya yang kini hampir kehilangan napas. Ia merasa sangat lelah karena menaiki bukit ini, padahal ia sama sekali tidak membawa barang apa pun.

Permata Dari RembulanNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ