BAB 11

514 86 9
                                    

Pagi ini, Ranajaya membantu ibunya yang sedang menyiapkan sebuah racikan obat. Arjanti, ibunya Ranajaya adalah seorang tabib hebat yang bekerja untuk kerajaan. Ia sudah mengabdi kepada istana Balwanadanawa sejak ia masih remaja, ketika ia masih membantu ayahnya. Hingga sekarang, ketika ia harus menggantikan posisi ayahnya tersebut.

Menjadi seorang tabib dan pembuat obat herbal bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari karena kemampuan itu akan selalu diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Bakat dan kemampuan itu bisa dilihat oleh orang tua sejak anak mereka masih kecil dan kini, Arjanti belum melihat bakat itu pada Ranajaya. Padalah Ranajaya adalah anak satu-satunya yang ia miliki. Maka dari itu, untuk memastikan kalau putranya memiliki kemampuan turunan darinya, Arjanti selalu meminta Ranajaya untuk membantunya dan membuat Ranajaya menghapal seluruh tanaman herbal beserta fungsi-fungsinya.

Bagaimanapun juga, Ranajaya harus menggantikan dirinya untuk mengabdi pada istana Balwanadanawa. Hal ini sudah menurun dari keluarga mereka sejak istana ini baru berdiri. Ia adalah generasi ke tujuh yang mewarisi bakat ini. Ranajaya adalah satu-satunya generasi yang bisa mewarisinya.

"Ibu," kata Ranajaya sambil mengikat sebuah akar yang Ranajaya lupa namanya. Yang pasti, akar itu digunakan untuk menyembuhkan penyakit demam.

"Ikat yang benar," jawab Arjanti yang melihat kalau Ranajaya mengikat dengan asal. "kalau kau mengikatnya seperti itu, Ibu akan rugi karena akar-akar itu akan berjatuhan selama perjalanan."

Ranajaya tersenyum dan membetulkan ikatannya. Meskipun ibunya sangat cerewet, tapi ia sangat menyayangi ibunya. "Ibu tahu? Manika masih belum mengingat apapun."

"Aneh sekali. Setahu Ibu, seorang hanya bisa kehilangan sebagian kecil ingatan, bukan semuanya. Apakah sekarang ada penyakit baru?" tanya Arjanti.

Lalu, ia memukul pindah Ranajaya karena hampir saja membuang akar yang langka dan sangat mahal. Ranajaya yang kesakitan pun mengelus bahunya dan berkata, "Ibu tidak bisa memukulku seperti ini."

"Kau hampir saja membuang akar langka. Kita tidak akan bisa makan jika kau membuangnya. Astaga putraku sepertinya memang tidak berbakat," kata Arjanti yang bergumam pada kalimat terakhirnya.

Lalu, di tengah perselisihan ibu dan anak itu, Kasim tiba di rumah mereka. Ia datang ke sini karena memang Arjanti adalah teman masa kecilnya. Arjanti juga merupakan teman masa kecil mendiang istrinya. Mereka semua tumbuh bersama di dalam lingkungan Balwanadanawa.

Melihat Kasim yang tiba di rumahnya, Arjanti berdiri dan berkata kepada Ranajaya, "Jangan menyentuh apapun. Ibu yang akan menyelesaikannya."

"Ya dewa. Putramu tidak mau menjadi seorang tabib. Biarkan dia melakukan apa yang diinginkannya," kata Kasim dengan enteng dan sambil tertawa, membuat Arjanti membulatkan matanya.

"Kemampuanku adalah hal yang diwariskan melalui darah. Bukan seperti kemampuanmu yang bisa dilatih dengan pedang dan Medan perang," jawab Arjanti.

Mendengar itu, Kasim tertawa. "HAHAHAHA.. Kau sangat menyombongkan kemampuanmu. Baiklah, tolong buatkan aku ramuan agar aku bisa menghilangkan semua rasa sakit pada setiap sendi tubuhku."

"Aku sudah menyiapkannya," jawab Arjanti.

Ia lalu berjalan ke arah dapur dan beberapa saat kemudian, kembali dengan satu cangkir kayu ramuan yang biasa ia racikkan untuk Kasim Aswanara. Ia tidak tahu mengapa Kasim tetap menjadi panglima perang yang gagah, kuat dan selalu memenangkan setiap peperangan. Padahal setiap kali selesai berperang, Kasim selalu mengeluh akan tubuhnya yang sakit.

"Berikan ini kepada Manika, harus diminum selama tiga hari berturut-turut," kata Arjanti lagi sambil memberikan sebuah kain berisikan beberspa tanaman herbal yang bisa mengembalikan ingatan Manika.

Permata Dari RembulanWhere stories live. Discover now