BAB 22

416 73 9
                                    

Matahari sudah akan terbenam ketika Taraka keluar dari kadhaton utama, disertai oleh rombongan prajurit dan dayang-dayang. Gayatri sudah kembali ke kamarnya dan Taraka tidak ingin terlalu memikirkan apa yang baru saja ia bicarakan dengan Gayatri.

"Drastha masih tidak ingin menemui para pelayan baru?" tanya Mo, ajudan pribadinya yang sangat senang karena akhirnya bisa melayani sang pangeran mahkota.

Selama ini, ia hanya menunggu di istana karena sang pangeran yang selalu berperang dan melarangnya untuk ikut berperang.

"Memangnya, hal penting apa yang harus kulihat dari pelayan-pelayan itu?" tanya Taraka.

Ia berada satu langkah di depan Mo, sementara prajurit dan dayang-dayang berada beberapa langkah jauhnya dari mereka berdua. Jadi tidak akan ada yang mendengarkan mereka. Maka dari itu, Mo berkata, "Drastha adalah calon raja di kerajaan ini dan usia Drastha sudah memungkinkan untuk memiliki keturunan."

Taraka hanya diam, karena ia belum mengerti tentang arah pembicaraan Mo.

"Memiliki banyak keturunan adalah salah satu tugas dari seorang raja, agar kerajaan ini menjadi semakin kuat. Meskipun Drastha belum dinikahkan dengan seorang ratu, tapi Drastha sudah bisa memiliki beberapa orang selir untuk mendapat keturunan. Para dayang istana bisa menjadi salah satu pilihan," kata Mo dengan senyumannya.

Mendengar itu, Taraka berhenti, membuat rombongannya juga berhenti. "Maksudmu, aku harus memilih di antara mereka, siapa yang akan melewati malam bersamaku hanya untuk mendapatkan keturunan?"

Senyuman Mo semakin mengembang. Ia sangat tahu kalau sang pangeran mahkota yang tumbuh bersamanya ini adalah lelaki yang sangat pintar dan perkasa. "Benar, Drastha."

"Kalau begitu, kau saja yang menikah dengan mereka," jawab Taraka. "Apakah kau pikir aku akan melakukan hal seperti itu?"

Mata Mo membulat ketika mendengar jawaban dari Taraka. Tiba-tiba ia menjadi was-was. Bagaimana jika kerajaan ini tidak akan memiliki keturunan karena snag pangeran mahkota yang memiliki pemikiran seperti itu?

"Jangan menggangguku dengan perkataan seperti itu," kata Taraka lagi.

Lalu, ia berjalan memasuki Payon omah dimana Nimas sudah menunggunya. Tadi ia memang meminta Nimas untuk menyiapkan teh herbal untuknya. Akhir-akhir ini, kepalanya serinnmg terasa pusing dan perkataan Mo tadi membuat kepalanya semakin pusing.

"Dewa.. pertanda apa ini? Aku harus menemui para tetua dan menanyakan apakah ada bintang pangeran yang akan terbit. Aku harus memastikan kalau nanti, Drastha memiliki banyak keturunan," kata Mo dan berbalik untuk menuju ke Payon Omah Tetua.

Sementara di dalam, Nimas sudah menunggu Taraka. Selain eyangnya, Nimas adalah wanita yang bisa ia katakan sebagai pengganti ibunya sendiri. Nimas adalah orang yang paling khawatir setiap kali ia sakit ataupun terluka.

"Drastha," kata Nimas sambil menundukkan kepalanya. "Silakan Drastha duduk."

Taraka duduk di kursi dan mempersilakan Nimas untuk menuangkan tehnya. "Bulik tidak perlu berdiri. Bulik bisa duduk di hadapanku."

Nimas tersenyum dan duduk di hadapan Taraka. "Bisa Abdi mengatakan sesuatu, Drastha?"

"Silakan," jawab Taraka sambil mencium aroma teh herbal yang sangat ia sukai ini.

"Tadi abdi menemui para dayang yang baru saja tiba dan abdi mendapati Ajeng Manika berada di antara mereka. Abdi tidak tahu bagaimana caranya dia bisa masuk ke sini. Namun, dia sudah menandatangani surat perjanjian dengan darahnya sendiri. Tidak ada yang bisa mengeluarkannya, bahkan Panglima Perang Kasim Aswanara pun tidak bisa mengeluarkannya. Hanya titah Drastha lah yang bisa mengeluarkannya."

Taraka terdiam ketika mendengar penjelasan dari Nimas. "Bagaimana Manika bisa berada di sana?"

"Abdi belum menemukan jawabannya. Namun dari penjelasan yang diberikan oleh Dayang Sui, Ajeng Manika terlihat sangat berani. Dia terus mengatakan kalau dirinya adalah anak dari Panglima Perang Kasim. Padahal, Ajeng Manika bukanlah orang yang seperti itu. Dia pasti akan menunggu bantuan, daripada harus bicara dengan tidak sopan."

"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Taraka.

"Ajeng Manika terkihat sangat kesulitan dan sudah beberapa kali dia mendapat hukuman karena bicaranya tidak sopan," jawab Nimas.

"Aku akan mengeluarkannya."

Nimas sedikit mengangkat kepalanya namun tidak sampai menatap wajah Taraka. "Drastha tidak boleh menemui mereka sekarang karena sekarang sudah sangat malam untuk mengunjungi mereka. Drastha bisa menemui Ajeng Manika esok hari."

***

Tatjana kembali duduk di tangga depan payon omah yang ia tempati. Kini, ia sudah memiliki kamar sendiri karena sudah mendapatkan posisi sebagai dayang yang bertugas degan pakaian kotor. Hari ini terasa sangat melelahkan dan Tatjana menatap kedua tangannya yang terasa sangat kasar.

"Maafkan aku, Manika. Tangan lembutmu harus rusak," kata Tatjana. Ia menghela napas dan kembali merasa sedih. Namun, beberapa detik kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak boleh bersedih. Aku adalah Tatjana yang kuat."

Ia menepuk-nepuk dadanya dan berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. "Apapun yang terjadi, aku harus pergi dari sini."

Lalu ia menatap ke sekitarnya dan mendapati suasana yang sangat sepi. Apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuknya pergi dari tempat ini?

"Ya. Sepertinya aku adalah orang yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan," kata Tatjana lagi.

Kemudian ia berdiri dan bersiap untuk pergi dari tempat yang sangat mengerikan ini. Sekali lagi Tatjana menatap ke sekitarnya dan benar-benar tidak menemukan satu prajurit pun yang berjaga.  Ia belum begitu mengenali tempat ini. Namun, ia tidak akan menyerah.

"Aku adalah Tatjana yang kuat," kata Tatjana sebelum ia berlari untuk mencari tempat keluar dari istana ini.

Bersambung

Permata Dari RembulanWhere stories live. Discover now