BAB 21

378 62 15
                                    

Pada esok harinya, Tatjana sudah mengenakan pakaian pelayan. Ia ditugaskan di tempat pencucian pakaian yang merupakan tingkatan paling rendah dalam sistem dayang istana. Dayang Sui sengaja meletakkannya di sana karena ingin memberikan pelajaran bagi Tatjana, berharap kalau Tatjana akan berubah ketika sudah berada di sana.

Orang-orang yang bersama dengan Tatjana pun tidak begitu membantu. Mereka sibuk berbisik-bisik karena Tatjana yang mengatakan ingin menemui sang pangeran mahkota. Beruntungnya, Ari ditempatkan di tempat yang sama dengannya. Perasaan Tatjana menjadi lebih baik karena ia memiliki Ari yang mengetahui situasi dirinya.

"Seperti ini," kata Ari sambil menunjukkan cara mencuci pakaian kepada Tatjana.

Kini mereka sedang berada di sungai yang biasa digunakan oleh para dayang untuk mencuci pakaian. Tatjana sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya mencuci pakaian. Meskipun Tatjana tidak mengerti, namun Ari tetap membantunya.

"Manika, berapa umurmu?" tanya Ari.

Tatjana mengerutkan keningnya karena tidak tahu berapa umur Manika.

"Kamu lebih muda dariku," kata Ari lagi. "Jadi, jangan pernah sungkan untuk bertanya banyak hal kepadaku."

Tatjana tersenyum karena mendengarnya. "Terima kasih. Aku sangat senang karena memiliki teman sepertimu."

"Teman?" tanya Ari yang seolah takjub dengan kata-kata itu.

Tatjana menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar. "Ya. Kita adalah teman."

Ari ikut tersenyum. "Aku tidak pernah memiliki teman karena ayahku melarang ku berteman dengan siapapun."

"Sekarang kamu memiliki aku sebagai temanmu. Kamu tahu? Tidak masalah ketika kita hanya memiliki satu teman seumur hidup. Yang penting, kita memiliki satu orang yang memahami kita," kata Tatjana lagi.

Entah mengapa, Tatjana merasa sangat bersemangat ketika banyak bicara seperti ini. Sepertinya, dirinya di kehidupan nyatanya adalah orang yang sangat cerewet.

Di sisi lain,  dayang Sui dan kepala dayang berjalan sambil menatap Tatjana di kejauhan. Dayang Sui menemani sang dayang kepala untuk melihat yang dilakukan oleh para dayang baru itu. Mereka melihat satu per satu dari orang-orang yang tengah bekerja itu dan pandangan sang dayang kepala tertuju kepada Tatjana yang sepertinya masih belajar caranya mencuci pakaian.

"Dia adalah Manika. Sejak tiba di sini, ia selalu mengatakan kalau dirinya adalah anak dari Panglima Perang. Meskipun sudah dipukul menggunakan rotan dan saya sudah memukulnya dengan tangan sendiri, dia tetap saja bersikeras dengan perkataannya," kata dayang Sui.

Kepala dayang yang bernama Nimas itu menatap dayang Sui dan menghela napasnya. Sejak pertama kali melihatnya, ia sudah tahu kalau itu adalah anak dari panglima perang Kasim Aswanara. Ia adalah seorang dayang yang mengasuh pangeran mahkota sejak sang pangeran masih kecil dan sang pangeran mahkota selalu bermain dengan Manika. Ia cukup mengenali Manika dan sedikit terkejut dengan keberadaannya di sini.

"Apakah dia sudah menandatangani suratnya?" tanya Nimas.

Dayang Sui menganggukkan kepalanya. "Darahnya sudah mengikat janjinya."

Nimas tidak lagi menjawab. Jika Manika sudah meletakkan darahnya di atas kertas yang berisikan perjanjian itu, maka ia tidak bisa lagi mengeluarkan Manika.

***

Di dalam kadhaton utama, Taraka sedang mempelajari banyak sekali hal yang sudah menunggunya. Meskipun awalnya ia menolak, akhirnya ia tidak bisa mengabaikan semua tanggung jawab yang sedang diberikan oleh sang raja kepadanya. Ia menghembuskan napas karena setidaknya, pekerjaannya hari ini sudah selesai.

Ketika ia sednsg menutup sebuah kain yang berisi laporan dari para warga, seorang dayang memasuki ruangannya sambil menundukkan kepala. Ia berkata, "Drastha, abdi datang untuk mengatakan kalau Ajeng Gayatri sudah menunggu di depan Kadhaton Utama."

Taraka menatap Mo, ajudannya. Ia lupa kalau tadi pagi, Mo mengatakan kepadanya bahwa Gayatri sudah tiba di Balwanadanawa. Seharusnya ia memiliki waktu untuk menyambut Gayatri.

"Izinkan dia masuk," jawab Taraka.

Tak lama kemudian, Gayatri memasuki pintu dengan sangat anggun, diikuti oleh dua orang dayang di belakangnya. Ia menundukkan kepalanya, "Hormat Kulo kepada Drastha, calon pemimpin di tanah ini."

Tarakan berdiri dari kursinya dan menuruni singgasana yang ia duduki. "Berdirilah."

Lalu Gayatri mengangkat kepalanya, namun tidak sampai menatap wajah Taraka. "Maafkan Kulo yang begitu lancang untuk menemui Drastha."

"Aku yang seharusnya meminta maaf karena tidak menemuimu. Bagaimana perjalananmu? Membutuhkan waktu enam hari untuk tiba di sini. Aku harap, kamu berisitirahat dengan baik," jawab Taraka sambil mendekati Gayatri.

"Kulo beristirahat dengan sangat baik, Drastha," jawab Gayatri dengan sangat sopan dan anggun.

Taraka menatap semua orang yang ada di ruangan ini dan berkata, "Bisa kalian tinggalkan aku dan Ajeng Gayatri?"

Lalu semua orang mulai meninggalkan ruangan itu, kecuali Mo yang tetap harus berada di sini. Menjadi tugas Mo untuk berada di sisi Taraka dan memastikan kalau Taraka tidak melanggar peraturan apapun.

"Aku sangat senang ketika melihat kedatangan teman masa kecilku," kata Taraka setelah hanya ada Mo di antara mereka berdua.

"Drastha tahu tujuan Kulo datang ke sini," jawab Gayatri dengan lembut.

"Tapi hingga kini, aku tidak memiliki perasaan apapun kepadamu. Gayatri, bagaimana bisa kamu menikahi seseorang yang tidak mencintaimu?" tanya Taraka.

Gayatri pun menjawab, "Sejak kecil, Kulo sudah dipersiapkan untuk mendampingi Drastha. Tugas Kulo adalah mendampingi Drastha, terlepas dari apakah Kulo dicintai ataupun tidak."

Taraka menatap wajah Gayatri yang begitu tenang ketika menjawabnya. Sejak tiba di sini, tidak sekalipun Gayatri mengangkat kepalanya apalagi menatao wajah Taraka. Gayatri memang sudah dipersiapkan untuk menjadi pendampingnya, untuk menjadi ratu di masa depan. Namun, ia tidak akan membiarkan masa depan sahabat kecilnya ini hancur. Gayatri berhak mendapatkan kebahagiaan dan seseorang yang benar-benar mencintainya, dan itu bukanlah dirinya.

"Gayatri, kamu bisa menemukan sesosok lelaki yang jauh lebih baik dariku. Belum terlambat jika kita bicara dengan para tetua," kata Taraka lagi.

Kata-kata Taraka membuat hari Gayatri terluka. Meskipun mereka memang sudah ditentukan untuk menikah, meskipun ia sudah dipersiapkan untuk menjadi pendamping sang pangeran mahkota, namun jauh di dalam hatinya, ia benar-benar mencintai sang pangeran. Akan tetapi, Gayatri tidak merubah raut wajah ataupun nada bicaranya sama sekali.

Ia menjawab, "Drastha. Sama seperti Drastha yang harus menjalani hidup yang sudah digariskan, Kulo juga harus menjalani hidup yang sudah digariskan oleh para tetua. Kita sama-sama menjalani apa yang tidak kita ketahui, dan Kulo tidak mempermasalahkan semua itu."

Gayatri tidak akan meminta para tetua untuk membatalkan pernikahan mereka, karena ia akan selalu mendampingi Taraka, dengan ataupun tanpa cinta dari Taraka. Karena, ia memiliki snagat banyak cinta yang bisa membuat mereka hidup bersama.

Bersambung

Permata Dari RembulanWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu