Semangkok Rasa • 03

Start from the beginning
                                        

Sepasang teman semeja itu sedang asik menikmati tidur siang kini terusik. Salah satu dari mereka membuka mata, berniat ingin menegur para temannya yang berisik untuk diam.

Namun baru saja matanya terbuka, ia langsung terkejut bukan main ketika melihat lelaki yang ditemuinya beberapa hari lalu berdiri di depan sana.

Segera sebelah tangannya menepuk-nepuk pundak teman sebangku yang ikut tertidur.

"Div, Div, lo harus bangun. Lihat crush lo ada di depan."

Yang dibangunkan hanya menggeliat kecil, menepis tangan Nisa dari pundaknya. "Apaan sih, gue ngantuk."

"Bangun cepet, sosialisasi mau dimulai, dan lo harus lihat siapa yang ada di depan."

Diva berdecak kesal, ia tidak peduli dengan sosialisasi atau apapun. Kelopak matanya sangat terasa berat, ia ingin beristirahat sebentar.

Diva memalingkan wajah kesisi sebelah, menutup kepalanya menggunakan buku LKS yang terbuka. "Gue ngantuk Nisa. Gak peduli gue sama masalah sosialisasi kampus, ga bakal minat juga. Hua.." dibalik wajah yang tertutup itu ia menguap lebar.

"Yang ini beda, Div. Lo harus lihat kalau ga mau nyesel."

Nisa memegang kedua sisi kepala Diva. Diangkatnya kepala itu untuk menghadap ke depan sana, meskipun sedikit susah karena Diva selalu menahan kepalanya. Namun ia tetap berhasil.

Wajah bantal Diva terlihat, rambut lurus yang tergerai itu nampak berantakan, anak rambut banyak menutupi wajah, mata gadis itu terpejam dengan mulut sedikit terbuka.

"Buka mata lo bege. Di depan ada Angkasa!"

Mendengar nama Angkasa disebut, otaknya segera mengirimkan sinyal yang kuat pada matanya.

Cahaya yang tadinya hanya memiliki kekuatan 5 Watt kini berubah menjadi terang benderang, badan yang semula terbungkuk lesu kini tegap sempurna.

Diva menyingkirkan tangan Nisa yang sedang memegang kedua sisi kepalanya. Bersamaan dengan itu pria di depan sana yang asik mengobrol menoleh, menatap dirinya yang super duper berantakan dari segi penampilan.

Pandangan mereka sempat terkunci beberapa saat, sebelum akhirnya senyum simpul yang Angkasa berikan berhasil membuat Diva tersadar dan segera merapihkan rambutnya yang berantakan.

Diva menundukkan kepalanya dalam-dalam,  ia tidak ingin bertatapan dengan Angkasa dengan keadaan seperti sekarang ini.

Nisa yang melihat sahabatnya itu hanya berdiam saja menyenggol sepatu Diva.

Memberikan kode untuk menatap ke depan, mata dan gesture wajah Nisa seolah berujar. 'crush lo itu, kiw..'

Diva menepuk punggung Nisa, sahabatnya itu terkekeh puas melihat raut kesalnya.

Diva akhirnya kembali mendongakan wajah,  ternyata disana sudah ada kedua rekan Angkasa yang lain. Satu lelaki dengan tinggi yang lebih pendek 2cm dari Angkasa dan satu lagi perempuan dengan wajah tembam yang terkesan imut.

"Jadi begitu, kalau saya sendiri ngambil jurusan kedokteran. Kalian ada yang mau masuk ke jurusan yang sama?" Suara gadis itu terdengar lembut dan ramah ditelinga. Mencirikan bahwa dia merupakan wanita yang ekspresif.

Beberapa teman sekelas mengacungkan tangan, salah satunya adalah Nisa. Diva yang melihat sahabatnya mengacung pun memasang wajah tak yakin.

Serius murid seperti Nisa ingin masuk kedokteran? Melihat dari tampang wajahnya saja sudah tidak cocok.

Jangankan nanti mengobati pasien, malah pasiennya yang tambah sakit karena menghadapi tingkah ajaib gadis itu.

"Lo yakin mau masuk kedokteran?" Bisik Diva.

Nisa menggelengkan kepalanya sembari menyengir. "Enggak, gue cuman iseng-iseng aja acungin tangan."

Kan..

Sudah diduga bahwa itu tidak mungkin terjadi.

"Kalau kak Angkasa ambil jurusan apa?" Suara teman perempuan yang duduk disebelah Diva buka suara.

Sepontan pandangan Diva membidik punggung temannya dengan tatapan tak suka.

Suara temannya ini terkesan dilembut-lembutkan, dan baru kali ini Diva mendengar nada yang seperti itu.

Biasanya saja selalu berteriak-teriak ataupun galak.

Wajah penuh kejulidan itu nampak terlihat jelas, bibir gadis itu bergerak mengikuti kalimat yang diucapkan.

Bersamaan dengan itu, tanpa Diva sadari Angkasa melihat hal konyol yang ia lakukan. Kedua sudut bibir pria itu ingin sekali terangkat namun ia tahan.

Wajah kecil dengan bibir mengerucut itu mirip sekali dengan bebek peliharaan sang kakak ketika lupa tidak diberi makan.

"Kalau dia mah ambil jurusan Sastra Indonesia. Anak puitis. Masih jomblo juga, ada yang mau jadi pacarnya gak?"

Erik--rekan Angkasa-- yang kini tengah duduk di kursi guru itu kini berjalan dan berdiri di samping Angkasa. Menepuk pundak pria itu berkali-kali.

Angkasa menepis halus tangan Erik yang bersandar pada bahunya. "Ngaco lo kalo ngomong."

🍧🍧

Sekian untuk part kali ini...

See you next time

Semangkok Rasa (new version)Where stories live. Discover now