Namun selang beberapa saat Virsa kembali terengah-engah dengan gelas yang kembali penuh. Ia meletakkannya di samping mangkok Dyan. Lalu ia posisikan dirinya duduk kembali di bangku sebelumnya.

"Padahal udah jam segini, tapi masih rame banget!" Keluh Virsa sambil mengipas-ngipas kerah seragamnya.

Dyan tertegun menatap gelas es tehnya. Gadis ini sudah tahu betapa ganasnya warga kantin. Tetapi masih tetap menerobos hanya untuk membeli es teh untuknya kembali. Rasanya ia diperlakukan seperti seorang pangeran, atau anak presiden, atau malah presidennya sendiri.

Ia bisa merasakan darahnya berdesir dengan perasaan malu. Rasa gelitik yang tidak pernah ia pahami kembali muncul di perutnya. Ia menjadi sedikit merasa bersalah karena telah menyalahkan Virsa tadi.

"Makasih..." Dyan berbisik.

Virsa tersenyum. Ia bisa mendengar Dyan dengan jelas. "Apa?" Tanya gadis itu pura-pura tidak tahu.

"Makasih!" Ketus Dyan. Ia kembali mengunyah bakso terakhir pada mangkoknya.

Virsa terkekeh geli. "APAAA?" Serunya.

Dyan menelan kasar bakso terakhirnya. "MAKASIH ANJIR!"

"APAAA?????"

"TULI BENERAN MAMPUS LO!"

•••

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Dyan melenguh lega setelah mengerjakan ulangan harian yang luar biasa sulit. Untungnya masih bisa ia hadapi dengan teknik 10 menit belajarnya. Rasanya otaknya akan meleleh.

Ia senderkan badannya pada tembok di belakangnya. Sebenarnya ia bisa saja langsung berangkat pulang saat ini. Lagipula ia perlu mengantarkan adiknya.

Tetapi pacarnya tadi masih membantu guru untuk membawakan kertas ulangan pada mejanya. Gadis itu memberinya kode untuk tidak pulang terlebih dahulu. Dyan tidak bisa tidak melaksanakannya. Alasannya, karena ia takut tindakan apa yang akan gadis itu lakukan jika ia meninggalkannya.

"Duh. Ngga kuaaatt butuh pelukan ayanggg," Keluh Varel. Dyan bergidik geli mendengar panggilan tersebut.

"Peluk noh handphone lo," Sindir Arsa. Varel menatap sinis lelaki tersebut. Ia tidak perlu diingatkan bahwa saat ini sedang menjalani LDR dengan pacarnya. Setiap hari pun ia selalu meratapi nasibnya yang tidak bisa memandang langsung kekasihnya.

"Gue doain pacar lo modelan kayak Dyan!" Sumpah Varel. Dyan menghela nafasnya. Padahal tidak ikut-ikut tetapi tetap saja dirinya disinggung.

"Amit-amit! Ogah gue sama yang ngga bisa paham perasaannya sendiri!" Kalimat itu tertancap pada benak Dyan. Ia mengepalkan telapaknya kesal.

"Yang penting ngga mainin perasaan orang!" Balasnya.

"Ngga usah mulai lo!"

"Apa? Mau baku hantam?"

Varel yang menyinggung Dyan terlebih dahulu menjadi merasa bersalah. Dua sahabatnya ini memang love language nya saling berantem. Dan dirinya sering menjadi pemicunya.

"Udah! Kok malah gelut!" Varel mencapit kedua bibir temannya.

Namun kemudian segera menyesali tindakannya ketika merasakan basahnya bibir mereka. Ia mengelap tangannya pada masing-masing seragam mereka. "Kalian habis adu mulut apa cipokan sih?! Kok basah gitu!"

Arsa dan Dyan bersamaan menatap tajam Varel yang masih mengelapkan tangannya pada pundak mereka. Mereka pun menyadari bahwa selama ini pemicu mereka bergelut adalah karena lelaki ini. Seharusnya mereka menghantam Varel, bukan satu sama lain. Kedua lelaki tersebut menatap satu sama lain seolah-olah membagi pemikiran yang sama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Weirdos.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang