Bab 31 : Pernyataan Cinta Ravi

637 14 4
                                    

***

"Nastusha, tolong buka mulutnya lebih lebar."

Nastusha dengan tatapan polosnya menuruti perkataan Ravi. Ia membuka mulutnya lebih lebar lagi, membiarkan Ravi melakukan pekerjaannya sebagai dokter gigi dengan baik. Laki-laki itu dengan hati-hati menggoyangkan gigi bawah anak itu dengan pinset gigi. Menggoyangkannya secara perlahan hingga gigi itu terlepas dari akar jaringannya. Nastusha cukup terkejut merasakan giginya sudah copot. Ravi dengan cepat menyumpal bagian yang bolong itu dengan gumpalan kapas yang sudah dilumuri dengan alkohol. Detik berikutnya gadis kecil itu hanya bisa terdiam mencerna suasana yang di rasakannya.

"Nah. Sudah. Cabut gigi gak sakit kan?" tanya Ravi sembari terkekeh pelan. Ia lalu menggendong anak itu untuk turun dari kursi khususnya, lalu menatap Aretha yang mengukir senyum andalannya.

Membuat Ravi terpana akan pesona ibu satu anak itu. Ia lalu memalingkan pandangan ke arah lain dengan tengkuk yang diusap, Tiba-tiba merasa grogi. Padahal, ia sudah sering berhadapan langsung dengan Aretha seperti ini. Mengapa ia tak pernah biasa jika berhubungan dengan Aretha?

"Terimakasih, Rav. Jadinya berapa?" tutur Aretha sembari merogoh isi tasnya untuk mengambil dompet. Ravi dengan cepat menolaknya.

"Gak usah, Reth. Kayak siapa aja."

"Loh? Tapi kan kamu kerja. Gak bisa gitu dong."

"Gak usah pikirin hal itu, Reth. Toh cuma nyabut gigi doang, bukan pekerjaan yang sulit kok."

"Ah, yaudah deh kalo gitu."

"Ternyata cabut gigi itu gak sakit, ya, Ma." adu Natusha sambil memegangi pipinya, mendongak untuk menatap mamanya yang sedang berdiri di sebelahnya. "Tau gini dari kemarin Natusha cabut gigi."

"Nah, lain kali kalo giginya ada yang goyang lagi langsung bilang ke mama ya? Biar mama langsung bawa ke om Ravi," sahut Aretha lalu berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan anak itu, lalu merangkulnya. "Om Ravi ini dokter gigi yang profesional. Jadi, kamu gak perlu takut."

Tatapan Aretha lalu mengarah pada Ravi yang langsung berdeham untuk meredakan ketegangan.

"Ah, biasa aja kok!" tukas pria yang saat ini mengenakan jas putih panjangnya, setelah itu seakan tersadar akan sesuatu. "Oh, iya. Untuk beberapa jam ke depan, Tusha jangan makan dan minum yang dingin-dingin dulu ya! Biar gusinya gak bengkak."

"Oke, Om."

Setelah itu yang dilakukan Aretha dan Ravi adalah mengobrol, membahas apa saja yang ingin mereka bahas. Sementara Natusha main ke rumah kakek dan neneknya yang berada persis di sebelah rumah Ravi. Jadi lah mereka hanya berdua saja saat ini. Tempat mereka sudah berpindah dari ruangan khusus praktek Ravi ke ruang tamu.

Obrolan mereka sempat terhenti ketika seorang wanita paruh baya membawakan nampan berisi dua gelas juice untuk Aretha dan Ravi. Ravi langsung menyerahkan gelas orange juice itu pada Aretha yang diterima wanita itu.

"Orange juice nya ini kan—"

"Harus manis dan esnya banyak kan?" potong Ravi tak membiarkan Aretha menyelesaikan ucapannya. Membuat wanita cantik itu cukup terperangah.

"Ah, iya. Kok kamu tahu?" tanya Aretha heran mengapa Ravi tahu apa yang menjadi favoritnya. Sedangkan Ravi tersenyum puas sembari menyedekapkan dada.

"Aku masih mengingatnya, Reth. Dulu waktu kita masih kecil, kamu selalu ngomel-ngomel kalau juicenya gak manis dan esnya sedikit. Makanya, aku request ke mbak dibanyakin gula nya sama esnya."

Mendengar hal itu, hati Aretha menghangat. Tanpa sadar, rona merah di pipinya terlihat walau samar. "Aku gak nyangka kalau kamu bener-bener memperhatikanku bahkan sampe ke detil terkecil. Makasih, Rav."

Senyum Ravi berubah menjadi getir. Ia bergumam dalam hati, "Tentu saja, Aretha. Sedetik pun aku tak pernah lupa akan setiap hal yang kamu sukai, apa yang kamu tidak suka, bahkan apa yang menjadi kebiasaanmu aku selalu tahu. Karena aku... selalu memperhatikanmu."

"Mas Ezran aja gak sampe se detil ini kayak kamu. Padahal, kami sudah hidup bersama lumayan lama," imbuh Aretha. Entah mengapa tiba-tiba Aretha membahas Ezran yang membuat Ravi tergelitik untuk bertanya jauh mengenai pria itu.

"Oh, iya. Bagaimana kabar suami mu itu? Apa kalian masih baik-baik saja?" tanya Ravi khawatir. Karena seingatnya, terakhir kali Ravi dan Aretha terlihat tidak akur. Ia bahkan masih mengingat bagaimana Aretha menangis sampai matanya menyipit.

"Hubungan kami? Ya begitulah." Aretha mengedikkan bahu acuh, seperti tidak mau tahu. "Dia masih mengurusi wanita simpanannya itu, dan aku mau tidak mau harus memakluminya. Kini aku harus berbagi mas Ezran dengannya. Aku tidak tahu apakah ini win-win solution untuk masalah kami. Tapi, aku tidak memiliki pilihan lain."

Mendengar cerita Aretha, membuat Ravi shock. Ada rasa tidak terima ketika sahabatnya diperlakukan seperti itu.

"Bisa-bisanya kamu mau saja diperlakukan seperti itu, Reth! Dia menjadikan kamu second choice dia tahu secara tidak langsung! Kamu jangan mau di bodohi oleh laki-laki macam dia!!"

Aretha menghela napas lelah. "Aku tahu, Rav. Tapi, aku melakukan semua ini bukan tanpa alasan. Aku bertahan demi Natusha, Rav. Aku gak mau dia kehilangan figur seorang ayah."

Kondisi menjadi menegangkan, bahkan Aretha mulai menganggap ini pembicaraan yang serius. Membuat Ravi bungkam untuk beberapa saat sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan. Pertanyaan yang berisiko akan menyakiti hatinya.

"Tapi, kamu masih mencintainya bukan?"

Aretha diam seribu bahasa, tak dapat menjawab pertanyaan Ravi. Tatapan wanita itu terlihat gelisah, dan ia tak dapat mengutarakan satu kata pun walau ia sangat ingin. Hal seperti itu saja sudah cukup membuat Ravi yakin kalau Aretha masih mencintai Ezran terlepas dari alasannya demi Natusha.

Ravi berusaha menerima kenyataan, ia mencoba tegar sembari memungut kepingan hatinya yang kembali hancur karena wanita yang sama. Ravi kali ini tidak mau menyerah.

"Mengapa kamu masih mencintainya? Padahal dia sudah menyakitimu dengan menduakan cintamu dengan wanita lain."

"Tidak tahu. Aku tidak menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaanmu itu."

"Akan kupersingkat, kamu jatuh cinta padanya terlalu dalam kan?"

"Ya. Anggap saja begitu." jawab Aretha final, tanpa diganggu gugat. Ia menyibakkan anak rambutnya yang terjuntai ke belakang telinga. "Wanita itu tak mempunyai pilihan lain selain mencintai. Mencintai ketika tak punya harapan, mencintai ketika tak punya pilihan. Aku pikir, wanita yang sudah mencintai terlalu dalam akan di hadapkan pada situasi seperti itu. Kamu akan mengerti jika kamu menyimpan satu nama dalam hatimu sampai dadamu terasa sesak."

"Aku mengerti. Aku menyimpan satu nama dalam hatiku, sangat lama sekali. Tapi, satu nama itu mencintai orang lain. Aku tak bisa melakukan apapun, selain terus mencintainya. Aku juga mencintai karena tak punya pilihan, Reth. Aku tak bisa membuatnya jatuh cinta padaku, aku tetap mencintainya walau tak punya harapan."

Ravi merasa bebannya selama ini terangkat karena sudah menyatakan perasaannya di depan wanita yang sangat ia inginkan. Ravi merasa sudah saatnya Aretha tahu, mungkin hari ini adalah hari yang tepat. Entah kemana rasa takut ditolak yang selama ini membayanginya.

Aretha membelalakkan matanya, ia masih belum sadar siapa yang dimaksud Ravi. Tapi, ia cukup terkejut karena Ravi ternyata memiliki orang yang disuka. Ia pikir pria itu tidak memiliki ketertarikan dengan lawan jenis, eh—

"Siapa?"

"Kamu."

***

Halo, gimana kabarnya? Udah beli baju lebaran? Udah bikin kue kering? Gak terasa kita sudah di penghujung bulan Ramadhan yah 🥰 rasanya waktu cepat banget berlalu, padahal kek bru kmrin gak sih kita puasa? Wkwkw

Chila dari lubuk hati yang paling dalam minta maaf yang sebesar-besarnya jika ada salah. Maaf kalo updatenya gabisa cepet2, maaf suka ngaret updatenya, hehe.

Yang masih mengikuti cerita ini sampai sekarang aku ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya 😍 kalian luar biasa. i love you guysss!! Apalagi kalo rajin vote dan komen tiap bab ini beuhhh >< aku do'akan rezeki kalian lancar. Aamiin

Antara Aku, Kau, dan Perempuan Itu Donde viven las historias. Descúbrelo ahora