Bab 9 : Ego

1.3K 50 13
                                    

***

"Maaf aku telah menghancurkan segalanya. Ini semua memang salahku."

Aretha terisak, memukul dadanya berkali-kali karena rasa sesak yang luar biasa. Sulit rasanya percaya pada kenyataan pahit ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ini semua sudah terjadi.

Maaf. Maaf. Maaf.

Hanya itu yang bisa Ezran katakan berulang- ulang dalam sesalnya. Ia tidak memiliki daya untuk meluruskan semua ini. Perasaannya sungguh campur aduk sampai ia tak bisa berpikir jernih.

"Aku butuh waktu."

Secara tiba-tiba, Aretha melepaskan kedua tangan Ezran yang melingkari pinggangnya dengan kasar kemudian lari menjauhi laki-laki tampan itu.

"Aretha, tunggu!! Jangan tinggalkan aku."

Ezran refleks berlari mengikuti Aretha, ia bahkan sudah tidak perduli lagi pada rapat pentingnya atau Karin sekalipun. Yang ada di kepalanya saat ini adalah Aretha. Wanita itu amat penting di hidupnya.

"Hei, Mas Ezran!! Kok pergi?" teriak Karin saat orang yang ia cari malah pergi begitu saja dari hadapannya. Ekspresi wajahnya terlihat kesal.

"Mass!! Mas Ezran!!! Urusan kita belom selesai ya!!"

Sementara itu, sepasang suami istri terlihat saling berkejaran. Aretha sampai rela turun tangga dari lantai 5 hanya untuk menghindari Ezran dengan cepat. Begitupun juga Ezran. Ia bahkan tak memedulikan beberapa pasang mata yang melihatnya dengan berbagai macam persepsi. Kantor saat itu sedang ramai-ramainya.

"Aretha, kumohon. Jangan pergi!"

Akhirnya Ezran berhasil menyamai langkah Aretha bahkan sampai menarik tangan wanita itu. Ditarik tiba-tiba seperti itu, tubuh Aretha refleks menghadap belakang. Matanya terbelalak tatkala melihat suaminya ini langsung bertekuk lutut tepat di hadapannya. Persis seperti seorang pangeran yang tengah merayu sang putri.

"Maafkan aku, Aretha. Maafkan aku," ucap Ezran lagi-lagi. Tatapan matanya berkaca-kaca, ia sangat takut kehilangan Aretha karena ini.

"Tolong lepaskan aku, Mas. Kumohon jangan seperti ini," pinta Aretha penuh penekanan tapi pelan. Ezran menggeleng dan terus meyakinkan wanitanya.

"Aku gak akan lepasin kamu sebelum kamu mau maafin aku," tutur Ezran. Menatap lekat Aretha, penuh pengharapan.

Aretha menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua ini. Ia tidak mau memutuskan sesuatu di saat pikiran dan hatinya sedang kacau seperti ini. Karena itu lah ia menghindari suaminya sampai perasaannya jauh lebih baik. Namun, apa yang dilakukan Ezran? Pria itu bahkan membuatnya semakin tak karuan dengan permintaan bodoh menyebalkannya.

"Aku. Butuh. Waktu." ucap Aretha penuh penekanan di setiap kalimatnya. Melihat sikap Aretha yang tidak bisa diajak kompromi lagi-lagi membuat seluruh tubuhnya lemas. Ia lepaskan tangan Aretha begitu saja dan hanya bisa menatap punggung wanita itu dengan airmata yang kembali jatuh membasahi pipinya.

Ya, mungkin Aretha benar. Ia harus memberikan wanita itu waktu untuk menerima keadaan ini dan berpikir kembali. Bukankah jika mereka benar-benar saling mencintai, hubungan mereka tak akan mudah goyah?

"Mas Ezran!!"

Sepeninggal Aretha, Karin datang lewat lift. Ia lalu menghampiri Ezran yang masih bertekuk lutut. Menatap laki-laki itu tajam.

"Janji kamu yang tadi gimana? Aku butuh kepastian sekarang." tagih Karin sembari bersedekap dada. Ia tak perduli Ezran sedang tidak bisa diajak bicara atau tidak, yang penting apa yang dia mau tercapai.

"Aku sedang tidak ingin bicara apapun," tukas Ezran datar. Setelah itu ia bangkit berdiri. "Menjaulah dariku. "

Karin mendesis kesal, lalu menunjuk ke arah Ezran dengan tatapan nyalang. "Mas, kalau kamu gak beliin apartemen sekarang juga aku mau tinggal dimana?! Pikirin dong. Biar begini kan aku juga istri kamu."

Ezran menghela napas lelah, lalu mengambil ponsel dari kantongnya. Berbicara sebentar kepada seseorang lewat telepon lalu mengalihkan atensi pada Karin yang sedang tidak sabaran.

"Untuk sementara kamu tinggal di Hotel dulu. Sekretaris ku sedang membooking kamar untukmu. Nanti aku shareloc Hotelnya," ucap Ezran tidak mau repot lalu berjalan begitu saja meninggalkan Karin.

Karin yang beberapa akhir ini dicuekin Ezran benar-benar membuatnya sakit hati. Laki-laki sialan itu selalu saja mengabaikannya jika sedang tidak butuh. Karin menatap kepergian Ezran demgan kedua tangan yang dikenal erat. Ia merasa harga dirinya rendah karena dibutuhkan seperlunya saja. Namun, bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur jatuh cinta pada Ezran Geovano. Perasaannya pada suami orang itu tak bisa ia hapus begitu saja hanya karena ia marah bahkan kecewa.

"Mas Ezran payah!!" umpatnya.

***

"Gadis berkerudung merah membuka pintu, dilihat neneknya sedang tertidur di ranjang seperti biasa. Namun, ada yang berbeda dengan neneknya. Seluruh tubuh neneknya di penuhi bulu. Walaupun curiga, gadis berkerudung merah pun mendekatinya."

Aretha sedang membacakan dongeng untuk Natusha ketika mereka sedang duduk bersama di ruang tengah. Sedangkan Natusha mendengarkan dengan seksama. Di tengah mereka, ada babysitter pribadi Natusha yang juga ikut menyimak.

"Lalu, apa yang terjadi pada gadis berkerudung merah itu, Ma?" tanya Natusha kepo. Tatapannya terlihat antusias.

"Si gadis berkerudung merah itu pun.... "

"Assalamu'alaikum."

Cerita Aretha terpotong begitu salam dari Ezran bergema di ruangan. Rupanya Ezran sudah pulang dari kantor, dengan raut wajah yang muram tidak seperti biasa.

Melihat Ezran, Natusha pun menghampiri papanya. Sedangkan ekspresi wajah Aretha berubah menjadi dingin lalu membuang muka. Kentara sekali kalau Aretha masih kesal karena kejadian tadi.

"Papa!" Natusha tersenyum lebar ke arahnya, membuat Ezran langsung menggendong gadis kecil itu kemudian mencium sekilas pipi gembilnya.

"Anak papa lagi ngapain nih?"

"Lagi dibacain dongeng sama mama."

Mendengar hal itu, Ezran langsung mengalihkan tatapan ke Aretha. Yang langsung dihadiahi tatapan tajam oleh perempuan itu. Membuat Ezran hanya bisa mengulum senyum.

"Mama mau ke kamar mandi dulu," ujar Aretha beralasan. Padahal, ia hanya ingin menghindar dari suaminya saja.

Ezran yang merasa harus menyusul istrinya sontak menurunkan Natusha dalam gendongan. Berniat menyusul Aretha yang entah betulan ke kamar mandi atau tidak.

"Natusha sama suster dulu ya. Papa mau nyusul mama dulu."

"Iya, Pa."

Ezran pun mengikuti Aretha pergi kemana. Ternyata Aretha tidak ke kamar mandi, melainkan ke kamar mereka.

"Sayang." Ezran memanggil Aretha, tetapi yang dipanggil hanya diam. Aretha duduk di tepi ranjang sedangkan Ezran berdiri di dekat pintu.

Mendengar Aretha tak menanggapi panggilannya seperti biasa, Ezran menghela napasnya. Rasanya tak mungkin ia merayu Aretha seperti biasa jika wanita itu marah. Karena masalah ini, adalah masalah besar yang cukup krusial dalam rumah tangganya.

"Aretha." Ezran memanggilnya lagi, tetapi kali ini dengan nama. Namun, tetap saja Aretha tak menanggapi. Ia terus duduk di sana tak menoleh atau apapun. Seakan Ezran memang tak pernah ada disana.

"Hmm, baiklah. Aku akan tidur di luar, " putus Ezran lalu mengambil bantal. Ia tahu diri kalau malam ini Aretha pasti takkan mau tidur seranjang dengannya seperti biasa.

"Tidak, kamu disini saja. Aku akan tidur di kamar Natusha," tutur Aretha tiba-tiba. Membuat Ezran yang hampir ingin meninggalkan kamar itu menoleh. Menatap wanitanya yang lagi-lagi masih memancarkan aura permusuhan padanya.

Aretha keluar dari kamar tersebut, melewati Ezran begitu saja. Ezran yang pada akhirnya ditinggal sendiri di kamar tersebut menyugar rambutnya ke belakang. Pusing memikirkan pertengkarannya dengan Aretha.

Kali ini Aretha bersikap egois dengan cara mendiamkannya. Membuat Ezran sangat kesepian. Tak tahu kah Aretha bahwa ia juga terluka karena ini?

Antara Aku, Kau, dan Perempuan Itu Where stories live. Discover now