Bab 10 : Pisah Rumah

1.5K 50 41
                                    

***

"Hoaamm."

Ezran menguap, meregangkan otot- ototnya yang kaku. Matanya masih terpejam, efek ngantuk yang luar biasa akibat tidur larut. Itu karena ia terus memikirkan pertengkarannya dengan Aretha yang tak kunjung selesai. Tidur di tengah memikirkan itu semua sungguh menyakitkan.

Tangan Ezran terulur, meraba sesuatu di sebelahnya. Matanya terbelalak begitu sadar tidak ada Aretha di sisinya. Ezran menghela napas panjang, satu fakta menyakitkan yang baru saja ia ingat; mereka mulai sekarang pisah ranjang.

"Apa Aretha tidurnya nyenyak?" gumamnya menerka-nerka. Seketika ia bangkit dari ranjangnya, memakai sendal rumahnya lalu berjalan keluar kamar. Ia ingin mengecheck keadaan istrinya di kamar Natusha.

Namun, langkahnya terhenti begitu Ezran melihat orang yang dicarinya muncul dengan menggeret koper yang cukup besar. Laki-laki itu tersentak kaget begitu matanya tak sengaja bertemu dengan iris coklat milik Aretha.

Mereka saling memandang tanpa mengatakan apapun.

"Kamu, mau kemana?" tanya Ezran dengan tatapan sendu. Pisah ranjang dengan Aretha saja sudah membuatnya sedih, apalagi mereka harus pisah rumah? Rupanya Aretha tidak main-main kali ini.

"Untuk sementara, aku akan tinggal di rumah ayah dan ibu," jelas Aretha. Yang dimaksud ayah dan ibu tentu saja orangtuanya. "Natusha juga aku akan bawa."

"Kenapa?" tanya Ezran dengan suara tercekat. Ia tidak siap dengan semua ini. "Kenapa harus sampai seperti ini? Kamu mau meninggalkanku?"

Aretha tak bergeming mendengar pertanyaan suaminya. Ditanya seperti itu, Aretha bingung. Ia belum menemukan jawabannya. Tidak mudah melupakan seseorang yang dicintai selama bertahun-tahun.

"Jawab Aretha!!" sentak Ezran tak sabaran. Bahkan ia sampai mengguncang bahu Aretha, menatapnya lekat. "Kamu mau meninggalkanku?

"Sudahlah, Mas." Aretha menepis tangan Ezran dari bahunya cepat lalu berjalan melewatinya begitu saja. Nada bicaranya agak tinggi. "Biarkan aku menenangkan diriku dulu. Aku sedang tidak bisa diajak bicara hal seperti itu."

Iris hitam itu sendu, menatap punggung ringkih sang istri dengan perasaan hancur. Pada akhirnya ia menuruti saja kemauan Aretha. Membiarkan wanita itu angkat kaki dari rumah membawa buah hati mereka.

"Andai saja kamu tahu, kalau selama ini aku tak pernah mengkhianatimu sedikitpun. Aku tak pernah mencintai Karin walaupun aku melakukan nikah siri dengannya. Karin ada diantara kita karena suatu hal yang aku tak bisa katakan kepadamu."

Ezran bermonolog, berbicara dengan pikirannya sendiri. Ia kini benar-benar sendirian di rumah yang luas itu.

"Tolong aku, lindungi aku dari mantan suamiku yang brengsek itu. Aku berjanji akan melakukan apapun asal kamu mau membantuku."

"Baiklah, aku akan membantumu. Tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa?"

"Aku minta dia yang ada di dalam gendonganmu itu."

"Hah? Kamu yakin?"

"Iya. Sangat yakin. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk istriku. Aku sangat mencintainya."

"Hufft." Ezran menghempaskan tubuhnya yang lemas ke sofa, memijit pangkal hidungnya. Merasakan sakit kepala akibat mengingat potongan ingatan itu. Hari dimana ia dan Karin melakukan kesepakatan yang cukup gila. Ia kini mengutuk ide bodoh itu yang berhasil membuat hubungannya dengan Aretha menjadi seperti ini.

Ternyata, membawa perempuan lain ke dalam dunianya adalah kesalahan besar.

Sementara itu, Aretha dan Natusha sedang dalam perjalanan menuju rumah oma opa anaknya tersebut. Kali ini mereka tidak diantar sopir, melainkan memesan taksi online. Suster yang menjaga Natusha pun juga ikut dibawa.

Antara Aku, Kau, dan Perempuan Itu Where stories live. Discover now