chapter 25 - perasaan konyol

Start from the beginning
                                    

Aku mengeluh dalam hati. Sambil memilah brokoli di piring, kulirik wanita-wanita yang senantiasa berada di dekat kusen pintu. Bagaimana caraku melumpuhkan mereka?

"Aku sudah selesai."

Mereka yang semula asik mengobrol seolah-olah aku tak ada di jangkau penglihatan itu mendekat, tergesa. Sebelum sempat salah satunya membereskan alat makan, aku bicara. "Perutku belum kenyang. Bisa kalian bawakan aku makanan lagi?"

Wanita yang berdiri tepat di depanku saling tatap bersama temannya. Kemudian pelan suaranya membalas. "Ba–baiklah."

Atas persetujuan mereka, aku tersenyum simpul. "Aku ingin makan makanan laut. Sepertinya udang goreng bukan ide yang buruk."

"Baik. Kami akan membawakannya."

Aku menunggu. Seperempat jam tiba. Lebih dari tiga puluh menit berikutnya terhitung. Satu putaran jarum panjang penuh namun belum juga kembali.

Apa mereka membohongiku?

Mereka tahu maksudku?

Berjalan cepat, tinggal semeter dari pintu, benda itu lebih dulu dikuak dari luar. Aku tersedak ludah.

"Aku ke sini untuk melihat perkembanganmu. Tapi kudengar kamu meminta untuk dibawakan udang goreng?"

Sial yang benar-benar sial. Siapa sih yang memberikan ilham padanya sampai tergerak untuk berkunjung?!

Bedebah.

Masih dia yang bersuara. "Sepertinya kamu lupa kalau kamu alergi makanan laut .... Atau kamu sengaja agar bisa menghindari kewajibanmu besok?"

Aslinya aku gentar bukan main, namun sebisa mungkin menyembunyikannya. Berdecih. "Kewajiban katamu? Memang apa yang pernah kuminta darimu? Selama ini kamu yang merugikanku, mengurungku dan menusakku! Lalu kamu bertingkah seolah aku harus berterima kasih untuk itu?!"

Alhasil, aku diseret olehnya. Sekuat tenaga memberontak, memenuhi lorong dengan teriakan dan makian, namun tetap kalah. Ketakutanku terjadi.

"Lepaskan aku!"

Hela napasku kacau berantakan, dadaku naik-turun kasar, keringat dingin lolos dari pelipisku dan aku terbangun dari tidur dengan kaget.

Mimpi itu lagi.

Aku menutup mata dalam-dalam. Lega menemukan diriku masih di kamarku, di dorm. Butuh beberapa saat untuk mengontrol degup jantungku yang sempat tak terkendali. Lantas tanpa permisi, dorongan itu muncul.

Hoeek!!

Mual.

Aku melompat dari ranjang, tunggang langgang ke arah kamar mandi. Terbeman di  wastafel, perutku yang masih kosong dipaksa mengeluarkan isinya. Usai puas berjibaku di sana, aku merosot lemas. Makin hari, kebiasaan ini makin parah. Tak ada yang bisa kukonsumsi hingga siang, kecuali buah dan susu. Kalau aku dalam program diet, ini bagus. Masalahnya sekarang sedang sibuk-sibuknya. Kalau tidur cuma bisa beberapa jam, setidaknya lambungku mesti terjaga. Tapi anak setan ini selalu memblokir semua usahaku.

"Benar-benar menyusahkan. Lihat saja, aku akan segera mengeluarkanmu," gerutuku sebelum mendarat di kursi meja belajar.

Pukul lima. Ini masih sangat pagi untuk beraktifitas, namun kantukku sudah keburu lenyap. Tak ada yang bisa kulakukan di jam segini. Pun tak ada yang bisa kupikirkan– sebelum guci mungil kesayanganku terekam pandangan. Aku menariknya mendekat.

"Renjun-a .... Apa yang harus kulakukan? Aku sudah sampai di dunia yang selalu kamu bicarakan. Tapi ternyata tempat ini tak sejalan dengan deskripsimu, tak seindah pandanganmu terhadapnya. Renjun-a, semesta tidak mau beramah tamah pada orang sepertiku. Bukannya bebas, aku justeru merasa lebih terjebak."

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now