chapter 22 - efek negatif

346 62 16
                                    

Bibirku yang basah baru selesai diseka bertepatan datangnya Jeno yang membawa derap terburu. Dari wastafel, aku bergeser untuk melihat apa yang terjadi.

"Kamu masak apa?"

"Telur kukus dan sup, tapi rasanya tidak enak. Terlalu banyak garam juga," jawabku, lemas memikirkan menu sarapan yang gagal total. "Kalian makan roti dan selai saja, ya? Aku malas membuat ulang."

Entah telat untuk apa tapi tampaknya Jeno sudah sangat terdesak. Dia meraih sebatang sendok dan mencicip sup langsung dari panci, mengernyit.

Kan sudah bilang kalau–

"Rasanya baik-baik saja. Apa maksudmu mengatakannya tidak enak?"

Aku ikut-ikutan mengernyit, skeptis akan pernyataanya. "Benarkah?"

Jeno mendengus keki dan memutar bola mata, tapi tak membalas. Dia mengambil mangkuk dan mengisinya dengan hasil racikanku yang mendapat label "buruk" dari indra pengecap. Lantas mengeyamnya dengan lahap di meja makan. Hingga setengah isi piring Jeno habis, aku masih sangsi.

Satu persatu member mulai berdatangan– minus Jaemin yang sejak dua hari lalu sudah pindah ke hunian pribadi –dan karena perutku mengirim pertanda tidak mau menerima makanan itu, aku memutuskan naik ke lantai atas. Biar nanti saja aku membuat mi instan setelah semua selesai.

Niatku adalah membereskan kamar dan mengisi tempat yang kosong seperginya Jaemin, namun aku malah berbelok ke balkon sebab pintunya terbuka. Begitu hinggap di ambangnya, niatku berubah lagi jadi ingin sejenak menikmati suasana pagi yang cerah.

Aku berdiri di belakang jeruji pembatas dengan pikiran melayang-layang dan terantuk di ingatan soal Jaemin yang tetap tak bicara sampai akhir. Ia seperti sengaja menjebakku guna berjibaku dalam gundah. Kalau-kalau setelah ini aku bisa bebas darinya, atau tidak sama sekali. Aku resah, namun jelas dia yang angkat kaki dari dorm sangat membantu. Aku tak perlu terus memalingkan muka.

Aku benci melihatnya.

Namun tak serta merta beban pikiranku berkurang, karena justeru digantikan dengan yang baru.

Sempat terkecoh di awal namun akhirnya aku sadar pemandangan di seberang jalan sana bukan kebetulan belaka. Aku belum bisa memastikan tapi kemungkinan si detektif yang memantauku. Baik di agensi atau di manapun keberadaanku, mobil dan plat yang sama tak pernah mangkir. Pula aku tahu, lelaki usia tigapuluhan itu berangkat dengan izin dari pihak perusahaan. Tcih. Mereka benar-benar menjadikanku buronan yang tinggal menunggu waktu untuk digelandang.

Usai menutup rapat pintu balkon, aku balik turun ke lantai bawah. Dari meja makan mataku menembus ruang tengah tanpa sekat dan terpana dengan kecepatan mereka menyantap. Ditinggal sebentar, piring kotor menumpuk di bak cuci dan tahu-tahu saja Haechan bersama Chenle sedang menggulir layar ponsel, Jisung dengan seember es krim, Mark serta Jeno berkutat merakit lego– tidakkah mereka sudah terlalu dewasa untuk bermain itu?

Oke. Terserah. Karena yang sekarang melintas di kepalaku terlalu menarik perhatian.

Tentang ucapan Jisung soal Mark tempo hari yang seolah memang sudah seharusnya bersambung ke potongan memoriku di rumah si sasaeng. Lebih spesifik, pasal ucapannya di penghujung usia.

Orang, kamu dan kaki tangan.

Apa maksudnya?

Apa ternyata selama ini di sekitarku ada mata-mata si ilmuwan gila?

Kalau benar, dia pasti bekerja sangat rapi sampai-sampai aku tak menyadarinya.

Lalu pertanyaannya, siapa?

Mataku hinggap secara bergilir di wajah Dreamies, bolak-balik sampai pusing sendiri. Pun semakin memaksa ingat, semakin aku buta dalam menerjemahkan gerak mulut laki-laki itu. Aku mengembus napas. Terima kasih kepada Jisung yang telah berjaya membuatku curiga kepada semua orang.

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now