chapter 5 - sekte abal-abal

649 111 18
                                    

"Renjun! Di mana jaketku yang terakhir kali kamu cuci?!"

"Aku menggantungnya di lemari!"

"Hyung! Sepatuku di mana?!"

"Yang mana?! Sepatumu tidak satu, Le!"

"Yang kemarin kubeli!"

"Bukannya kamu meninggalkannya di bufet ruang tamu! Mungkin masih di sana!"

"Kenapa tidak hyung taruh di kamarku?!"

"Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?!"

Gerutuan Chenle samar-samar kudengar. Tungkai panjangnya mengentak kesal. Aku mengembus napas, mendelik sabar. Bukan dia saja yang jengkel di sini.

"Hyung."

"Apa lagi Jiiiiiii," tanyaku gemas. Jisung yang mendapatkan sahutan bete itu mengerjap.

"Aku bahkan baru kali ini bertanya," katanya pakai suara merajuk, tidak tahu menahu akan kekesalan yang kualamatkan padanya, namun tak urung dia melanjutkan, "Ini sangat penting, hyung. Soalnya kalau benda ini tidak ketemu aku tidak tahu harus bagaimana lagi menjalani hidup. Mungkin aku bisa mati."

Lebay. Memang dia habis menjatuhkan jantungnya di sembarang tempat apa.

"Hyuuuuung, tolong ...."

Tingkah Jisung membuatku menarik oksigen banyak-banyak. Ampun deh, bagaimana aku bisa kesal kalau dia menggemaskan begini.

Selama sebentar aku diam, mengambil jenak demi melemaskan arteri pelipis yang menegang. Barulah ketika bisa memegang kontrol kembali, aku menatap Jisung. "Ada apa, Ji? Barang apa yang kamu cari?"

"Earphones yang semalam. Hyung tahu tidak, aku menaruhnya di mana?"

wuagdWkbbnwksgAdmbjasTkkahnvdDmsvzmmExbksllanuzPxkdgyxvdAkdmvxyzyKvsnbsbsk. Sudut bibirku berkedut ingin memaki. Polos sekali dia bertanya! "Hyung, kan tidak bersamamu semalam," senyumku seram.

"Tapi biasanya, kan hyung serba tahu."

"Hyung bukan dukun Jisung sayang." Setengah mati aku menahan diri agar tidak meraup wajahnya.

Usai berkata demikian, bocah berbadan jangkung itu berlalu sambil cemberut. Dia sempat berdebat dengan Chenle yang sama-sama ingin masuk ke kamar. Adu mulut perkara siapa yang layak lewat duluan terjadi dengan tidak elit di depan kusen pintu. Barulah ketika Haechan menerobos dari arah dalam, konfrontasi terbelah. Otomatis si tan jadi sasaran kemarahan duo bungsu.

"Kamu tidak ingin bertanya padaku juga, Chan?"

Ujarku sarkas tatkala Haechan berlalu di depan mata. Lelaki itu seperti telah siap meluncur pergi dengan penampilan alakadarnya: kaus oblong, celana pendek, sandal, tidak lupa baseball cap– masih ditenteng; siap menutupi sampai setengah muka. Timbul jerawat berukuran sedang di pipinya.

Haechan tidak membalas kata-kataku– padahal aku sudah siap jika harus terlibat cekcok dengannya, ia malah bicara hal lain dengan raut super duper lempeng.

"Sepertinya kamu melupakan sesuatu di dapur. Baunya sudah tercium sejak tadi."

YA TUHAN! SUP AYAMKU!

Tanpa bicara dan masih dalam kondisi melotot lebar, kocar-kacir aku menyongsong sumber bau yang Haechan maksud. Benar saja. Asap seketika mengepungku begitu sampai. Mematikan kompor, mengipas-ipaskan tangan di udara, berharap dapat menghalau aroma tidak enak masuk ke tenggorokan. Terbatuk.

Sudah pasti tidak ada bagian yang bisa diselamatkan. Gosong semua. Lagi, aku menarik napas panjang yang entah ke berapa sepagian ini. Panggulku rebah di tepi pantri, sudah tidak mood memasak.

cromulent | jaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang