chapter 17 - puncak acara

336 71 3
                                    

Sebenarnya aku kembali dari pingsan satu jam sebelum makanan terakhir yang Ahjumma berikan. Tanpa menganalisis status keamanan sekitar, kusambar dua potong pakaian yang teronggok di sofa, separuh lari memburu pintu.

Sejauh ini aku paham jika musuhku bukan sesuatu yang sepele. Maka dari itu, aku tidak menyelinap pergi walau ada kesempatan dengan persentase keberhasilan yang cukup besar. Rumah sedang lengang.

Tidak.

Aku memiliki misi– dan mungkin sedikit memuaskan ego; memberi pembalasan.

Menilai dari cara lelaki itu yang lihai dengan belati, aku urung meraih pisau di dapur. Dari senjata yang dimainkan, kemungkinan dia pandai dalam pertarungan jarak dekat, sementara aku adalah kebalikannya.

Usai menyisir beberapa ruangan, aku teryakinkan dengan asumsiku sebab tak ada senjata api di tempat ini. Posisiku tidak diuntungkan sekarang.

Penelusuranku sampai di taman belakang dan mayoritas tanaman di sana memberiku tugas baru. Satu senyum mengantarku pada bunga yang cukup cantik namun perlu diwaspadai. Menggunakan sarung tangan, aku memetik sambil riang memikirkan rencana yang mengalir deras di kepalaku.

Wolfsbane.

Apa boleh buat. Sepertinya aku harus menggali kemahiranku mengekstrak tumbuhan beracun jadi sesuatu yang sukar dideteksi. Kalian harus bersiap karena cerita selanjutnya akan menyenangkan!

Memeriksa pintu-pintu terakhir, aku menemukan apa yang kucari. Sudah pasti, tumbuhan sebanyak itu akan rumit kalau melibatkan pihak luar. Harus disediakan laboratorium di bangunan ini untuk menanganinya sendiri.

Aku berdecak, pertama kali mengagumi lelaki itu yang rupanya memiliki seluruh senjata yang cocok dengan tipenya di rumah ini.

Tak butuh lama, aku kembali ke kamar tahananku dan berakting seolah-olah baru bangun.

"Bisakah kamu ganti air putih itu dengan yang lain? Aku sedang ingin minum jus."

"Baik, Nyonya. Akan saya buatkan."

Kurang lebih sepuluh menit, Ahjumma kembali dengan apa yang kuminta.

"Saya buatkan anda jus jambu, Nyonya."

"Iya. Terima kasih. Kamu bisa pergi."

Tidak harus ada perintah kedua, wanita itu undur diri selepas berkata, "Saya sudah menyampaikan pesan anda kepada Tuan, beliau mengatakan akan segera pulang dan memenuhi keinginan anda."

Aku hanya berdengung membalasnya.

Pintu tertutup rapat, aku menyingkap selimut dan mencampur cairan bening hasil kerjaku ke dalam gelas.

Selagi menunggu lawan main dalam menyukseskan rencana ini tiba, aku menggenggam erat senjataku yang lain di bawah bantal.

Ah! Adrenalinku terpacu, bersorak tidak sabar ingin segera sampai di puncak acara!

Seperti yang sudah kubagikan di lembar sebelumnya, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Lelaki itu menggelepar dengan isi perut berhamburan dan nadi yang menonjol, lalu meregang nyawa di dekat kakiku– pikirku, namun ternyata aku terlalu cepat menyimpulkan karena saat berjongkok di depannya untuk menyaksikan detik-detik terakhir, aku terperanjat dan jatuh di atas pantatku. "Aish! Mengagetkan saja!"

Rupa-rupanya lelaki ini masih bisa bertahan. Kuakui dia cukup tangguh.

Dia megap-megap, melirikku dengan mata yang redup layu. Aku diam, membiarkan dia melakukan apapun. Hitung-hitung menunggu wasiat sebelum ia berpulang. Tangannya gemetar meraih betisku, berpegangan erat di situ.

"Kamu mau mengatakan pesan terakhir padaku?" Aku mencondongkan badan ke arahnya yang mana cuma sebentuk ledekan. Masuk ke pendengaranku napasnya yang memendek, lalu tiga kata dengan diucap terbata-bata.

cromulent | jaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang