chapter 13 - hierarki

459 87 8
                                    

Kondisi kamar kami memburuk selepas konflik terakhir. Aku dan Jaemin laksana dua zat kontradiktif yang ditempatkan dalam satu cawan. Pun volumenya masih dengan kadar sama, tekanan yang dihasilkan jauh lebih berat.

Di sudut mataku, kotak ini terlihat mencekam sampai-sampai aku tidak sudi bila harus tepekur lama. Akan tetapi langkah tergesaku habis di batas kusen, berbalik. Benar. Aku terlupa bahwasanya ragaku tidak memiliki alternatif. Tidak ada pintu lain yang mau menerimaku.

Satu-satunya tempatku adalah kesuraman ini. Aku cuma perlu terbiasa meski rasa-rasanya seperti simulasi penjara. Mau sesulit apapun di dalamnya, aku cukup tabah menerima kalau kini ruangan yang biasa mewadahi Huang Renjun bersama seluruh gundah dan bahagianya, bertransformasi jadi mimpi buruk yang sangat menakutkan.

Sebab seseorang di dalamnya selalu siap menjadi eksekutor paling keren dalam menunjukkan sisi kejam manusia.

"Jaemin, kumohon. Aku sangat lelah hari ini." Aku terjebak. Jaemin mengapitku dengan tembok, seluruh gerak dikunci.

Kadangkala aku menyesali perkataanku tempo hari.

Andai aku dapat mengontrol emosi.

Andai aku memperhatikan apa yang lolos dari mulutku.

Andai saja ... aku menurut akan kemauan Jaemin.

Namun di babak berikutnya, aku tak merasakan penyesalan itu dan tak berpikir perilakuku satu kesalahan. Aku muak menjadi seseorang yang tidak berkuasa atas dirinya sendiri dan aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Walau imbas yang mesti ditanggung berlipat ganda jumlahnya.

"Seorang jalang tidak boleh protes, Renjun. Jangan lupakan itu."

Lagi-lagi begini.

Ciuman kasarnya selalu berpuncak pada persetubuhan yang menyakitkan. Bahkan ia tidak segan melakukan kekerasan.

"Jaem, aku-akh! Sakit!"

Lenganku dicekal kuat. Aku meringis ketika dia menatapku bengis. "Berhenti bicara dan lakukan saja tugasmu."

Kukira kemarin waktuku akan segera berakhir. Saat dia mengejar puas seperti kesetanan, tangannya bertengger di leherku, mencekik erat hingga paru-paruku nyaris meledak. Pusing mengguncang kepala, barangkali wajahku membiru.

Kemudian saat dia jatuh di atasku dengan tersengal, aku seperti mati rasa. Sakit yang menyiksa lenyap tanpa tanda, dengan putus asa aku berharap ajal menghampiri bersama gelap. Namun sial, ada selarik cahaya yang mengetuk kelopak mataku di pagi hari dan saat itu aku kembali mendengar deru napasku sendiri.

"Shh ... iya begitu ... jangan terkena gigi-ah ... kamu sudah lebih pintar sekarang."

Jaemin menjambak, tersenyum culas akan aku yang mengerang tertahan, berlutut di depannya dengan mulut menampung penis. Fellatio telah menjadi agenda rutin sebelum tujuan utama. Aku harus mengecap miliknya menggunakan lidah dan seluruh rongga sampai menapak di pangkal, dipaksa menelan rasa khas dirinya walau rahang seakan hampir patah.

Jaemin menuntut tanganku untuk menangani sisa batangnya yang tidak bisa ikut masuk. Kerap aku ingin meremas buah zakarnya kuat-kuat, menggigit penis kurang ajarnya sampai putus. Kemudian saat ia meregang kesakitan, aku menontonnya sambil bertepuk tangan dan terbahak seperti orang sinting. Tapi bahkan aku ciut hanya karena ditatap tajam saat tak sengaja menggesek dengan geraham.

Mulutku pegal namun belum juga selesai. Jaemin malah ikut-ikutan bergerak. Dia memang monster tak manusiawi, menggempur dan mendorong penisnya sampai masuk ke tenggorokan. Aku menepuk-nepuk pahanya, kesulitan mengais udara hingga air mata mengalir lewat sudut mataku.

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now