chapter 6 - anime

618 102 35
                                    

Selasa, 13 Agustus

Hari ini, ibu memukulku lagi. Dia marah karena nilaiku jelek. Katanya benci padaku karna aku bodoh, sulit diajari dan tidak becus. Padahal sekarang aku sudah bisa menulis dengan baik.

Ibu bilang aku anak sial karena tidak tahu caranya berhitung perkalian.

Kenapa sih anak² harus sekolah? Setelah belajar satu kita harus belajar dua dan begitu terus sampai bosan.

Kemarin aku diajari ini sekarang diajari itu. Aku bosan sekolah tapi Ibu memaksaku pergi setiap pagi.

Kalau ada ayah, aku boleh tidak sekolah.

*

Terjadi kekacauan internal yang membuatku luar biasa pening.

Tiap kali peristiwa tempo hari– spesifiknya di bagian "kamu benar-benar menyukaiku, ya" –lewat di pikiran, rasanya aku ingin mengacak-acak diriku sendiri. Andai bisa kabur ke dunia manga, niscaya sudah kulakukan tanpa pikir dua kali.

Pada tahap berikutnya, sensorku akan secara otomatis menolak segala interaksi dengan Jaemin. Bahkan terkadang indraku mendadak kehilangan daya setelah mendeteksi hawanya. Kalau sudah seperti itu, aku separuh buta akan keberadaannya; tidak melihat wajahnya, tidak mendengar suaranya. Puncaknya, aku menjadikan Jaemin sarana memupuk benci.

Bisa dibilang, tindakan ini adalah bentuk coping mechanism-ku agar tidak terlalu stres memikirkan kenyataan yang ada.

Meski terkesan pengecut dan membuat situasi lain dengan pola rumit yang mengaruskanku berkejaran dengan Jaemin– dia datang-aku pergi, dia masuk-aku keluar –berkatnya aku bisa mempertahankan kenyamananku.

Metode ini cukup berhasil. Semuanya aman-aman saja sampai si sinting Jaemin mengafirmasi soal apa yang dia pikirkan tepat setelah selesai sarapan.

"Kamu menghindariku akhir-akhir ini." Licik. Sengaja dia mengeksekusinya pada saat aku sedang berhadapan dengan perabot kotor di wastafel; tidak bisa pergi kemanapun.

"Terlalu percaya diri bisa membuatmu celaka."

Derap Jaemin yang diam-diam kuwaspadai usai tepat di samping. Instingtif, aku bergeser sambil berlagak tidak peduli dan tetap pada kesibukan seolah nafas kami yang bersinggungan tidak sama sekali mendistraksi fokus. Lantas Jaemin menyalakan keran, menadah air dengan telapak tangan dan ... ya, hanya sampai di situ. Tidak ada hal lain. Dia bukan berniat mencuci tangan, toh makannya pakai sendok. Lalu–

Aku tercekat.

Baru saja dia dengan sengaja menyipratkan air ke wajahku.

Setengah mati menekan emosi agar tidak melebihi limit, aku mengabaikannya dan mengulur jarak hingga beberapa senti tercipta di antara kami. Padahal umpatan yang terkulum di mulutku adalah keinginan besar untuk membalasnya dengan seember air dingin, asal kalian tahu!

Melihat kelakuanku Jaemin berucap, "Benar, kan. Kamu menghindariku."

"Sejak dulu aku memang selalu menghindarimu agar tidak terkena sial," balasku, tidak sepenuhnya sangkalan karena menghindari dia memang kegiatanku sejak lama.

Meskipun tidak melihat secara langsung, aku tahu kalau Jaemin sedang menghujaniku dengan tatapan tajam. Beruntung dia tidak mendebat kata-kataku yang terdengar kasar bahkan di telingaku sendiri. Oh, ada kabar baik! Dia pergi!

Huft. Akhirnya aku bisa menyelesaikan cuci-mencuci dengan tenang.

Berhubung sedang tidak banyak penghuni, pekerjaanku jadi lebih ringan. Selepas membereskan dapur, dengan sepiring besar puding buah aku naik ke kamar. Begitu pintu terbuka, samar kudengar suara guyuran air di kamar mandi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Jaemin. Baguslah, aku tidak harus bertukar tatap canggung dengannya.

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now