chapter 16 - reinkarnasi

377 63 7
                                    

Memang, dewi fortuna cuma mitos belaka.

Empat hari sudah aku terkurung di tempat ini. Pasca insiden gagalnya seluruh rencana, kemarahan lelaki itu berujung pada terseretnya aku ke ruangan di balik pintu penyambung.

Sama sekali tak terbesit di benakku kalau tempat itu adalah kamarnya; nuansa monokrom dipadu dengan gorden kelabu yang memblokir total akses matahari. Penerangan yang minim membasi penglihatanku untuk mengidentifikasi keseluruhan isi tempat ini dan seolah tahu keluhanku, cahaya lampu segera menyiram ruangan. Selepas satu kerjap penyesuain retina, aku bisa lebih leluasa. Lantas selama beberapa detik tercekat.

Aku menelan ludah. Furnitur kamar ini sangat tak masuk akal dan membuat bulu kuduk orang normal manapun seketika berdiri.

Biar kuberitahu, selain ranjang dan lemari, mayoritas isinya alat-alat aneh dan tidak lazim. Meski tidak medetail, aku tahu semua benda ini adalah sarana BDSM– sudah kubilang bahwa aku tidak sepolos wajahku.

Kontan saja jantungku berdetak tak keruan, mulai merasa takut dengan lelaki sinting ini.

Ia menyentakku yang terpaku di lantai. Sekuat tenaga aku menolak, meraung dan kembali agresif memberontak. Namun sekali lagi, tenaga kami tak seimbang. Sejurus kemudian, aku ditaklukan. Pada sebuah tiang aku diikat dengan lilit tali tambang yang menarik tanganku ke atas, telapak kaki nyaris tak menyentuh lantai.

Jarum panjang jam dinding sudah melakukan tiga kali putaran, sekaligus menjadi saksi bisu atas seluruh raunganku yang hinggap di tiap penjuru. Pundakku pegal dan tak ada yang dapat kurasakan di sepanjang tanganku.

Sepertinya Semesta hobi sekali melihatku tersiksa. Sepertinya jika hidupku ditulis jadi sebuah buku, tiga perempatnya berisi kemalangan yang divariasi dengan keterlibatan manusia-manusia berotak miring.

"Kamu lihat sendiri, kan? Yang gila di sini bukan aku tapi majikanmu," kataku tadi, sambil selintas memindai sekeliling saat Ahjumma menghampiri atas dasar perintah untuk memberiku makan. Entah berangkat dengan kesibukan apa, yang jelas laki-laki itu pasti pergi.

Seluruh tubuhku letih, perlahan-lahan kehilangan tenaga. Pun suaraku hampir sulit dideteksi, beberapa kali hilang dan tersendat. "Jangan menatapku begitu. Nyatanya kamu sama dengan Tuanmu itu. Kalian penjahat yang bersekongkol menyekapku di sini."

Gurat kasihan di muka wanita itu mulai mengalami perubahan, ada sedikit rasa bersalah. Tampaknya dia agak terpengaruh dengan– "Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa berbuat banyak saat Tuan melarang keras. Saya sungguh prihatin dengan anda, tetapi saya takut anda akan berbuat anarkis seperti yang terjadi kepada Tuan."

–tidak ternyata.

Selain polos dan bermulut jujur, dia juga loyal– boleh jadi pada majikannya atau pada upah yang ia terima dengan menjual kesetian. Ini tak akan semudah yang kupikirkan. "Dengar, Ahjumma. Kamu bisa menanyakan apapun yang berhubungan dengan manusia waras padaku untuk membuktikan jika majikanmulah yang bicara omong kosong. Kamu bisa bertanya seperti apa Seoul, letak gedung SM, drama akhir pekan atau apapun. Tanyakan. Aku akan menjawabnya dengan akurat."

Wanita ini justeru dengan tegas menggeleng. "Tuan melarang saya bicara banyak dengan anda."

"Yak! Mana ada orang gila setampan diriku?!" Aku memejamkan mata erat. Ujaran ini menghabiskan energi terakhirku. "Ahjumma, apa kamu sama sekali tidak iba dengan kondisiku, hm? Lama-lama aku bisa mati jika begini."

Dia membungkam mulut.

"Ahjumma, aku percaya kamu tidak sejahat laki-laki itu, jadi tolong setidaknya biarkan aku bebas selama dia tidak ada. Ya?"

Kutarik kembali ucapanku. Wanita tua itu sedikitpun tak mengindahkan. Dia cuma menjejalkan makanan ke mulutku dan tetap konsisten walau aku menyemburkan hasil kunyahan persis di wajahnya.

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now