chapter 4 - primrose

534 102 21
                                    

Tiga bulan menuju comeback, kami melakukan pemotretan untuk album dan pernak-perniknya. Tema kali ini masih sama seperti sebelumnya; manis dan ceria.

Barusan Manajer mendapat keluhan dari Mark dan Haechan soal konsep yang kontradiktif dengan badan dan usia kami. Laki-laki itu dengan santai membalas, "Kalau tidak suka kenapa memilih jadi idol? Ini konsekuensi yang mesti kalian terima. Kalian harus mau diatur. Lagipula bukankah kalian juga setuju saat kita membicarakannya di pertemuan waktu itu?"

Haechan mendengus kesal, masa bodoh dengan siapa ia berhadapan. "Tapi kupikir tidak selucu ini. Maksudku, ini bahkan lebih kekanakan dari konsep sebelumnya. Sebentar lagi kita berusia duapuluh hyung, astaga."

"Tidak usah protes, lakukan saja dengan benar. Kalau kamu setidaksuka itu, cepat selesaikan agar bisa segera pergi," dengan ini Manajer menegaskan final dari debat mereka.

Pergeseran waktu siang ini jadi momen yang membosankan sekaligus menjengkelkan. Mereka itu ... sedikit-sedikit mengomel, sedikit-sedikit mengeluh. Warna pakaian yang terlalu terang lah, aksesori yang kelewat lucu lah, apapun dipermasalahkan sampai-sampai topi bulu jadi sangat berdosa di mata mereka.

Seperti biasa, aku dan Jisung hanya memantau– pemirsa dilarang bosan dengan keberadaan bocah itu, karena siapa lagi yang mau berkawan denganku kalau bukan dia?

Baiklah, kembali pada permen jely yang kali ini kulibatkan bersama Jisung dan keripik singkong kemasan jumbo di tangannya. Sehabis memicingkan mata, dia bilang,

"Sepertinya hanya aku yang dewasa di sini."

"Aigo, Jisung hyung," cemoohku menyebalkan.

Jisung mendelik mendengarnya. "Jujur saja, hyung terlihat seperti anak SD yang akan pergi karyawisata dengan pakaian itu."

"Kalau begitu berarti kamu adalah adik kelasku yang juga ikut rombongan karyawisata."

"Apa-apaan. Tidak lihat tubuh kekar dan tangan beruratku?" Jisung menampik keras kata-kataku, ketidakterimaan yang amat besar terpancar kuat dari segenap gesturnya.

"Berkaca Jisung. Wajahmu seperti bayi."

"Wajahmu seperti perempuan!"

Ya Tuhan, aku sangat tersinggung. Benar-benar anak ini. Kelamaan berinteraksi dengan para setan mulutnya jadi liar. Sepertinya aku harus lebih merangkulnya dan memulai sesi pendidikan akhlak agar dia tidak terseret dalam kesesatan.

Jisung sendiri diam, menyadari sudah bicara yang tidak-tidak. Mata dan mulutnya membentang lebar, baru akan bicara saat seorang staf datang membawa kabar untukku.

"Sebentar lagi giliranmu, Ren." Dia laki-laki berusia duapuluh lima. Namanya Ju-yeon.

"Baik, hyung." Aku menyudahi acara menyemil dengan seteguk air. Saat menoleh, Ju-yeon masih di dekatku– jatuhnya jadi merapat karena dia menduduki kursi tepat di sebelah. Posisiku sekarang diapit dua pilar tinggi.

Tolong jangan anggap ini sebagai bentuk rasa iri karena aku hanya sedang heran saja, tapi apakah mereka minum air kelapa sekalian dengan pohonnya atau bagaimana? Punya tubuh, kok menjulang sekali.

"Kamu apa kabar, Ren?" Ju-yeon bertanya kasual.

Sebut saja aku kepedean, tetapi kurasa aku tahu niat Ju-yeon. Dia menyukaiku dan mencoba mendekat. Entah titik awalnya di mana, tetapi sudah cukup lama aku menyadari kalau di sela keterlibatannya dengan agenda kami, aku kerap memergokinya memandangaiku dalam rentang yang tidak sebentar.

"Kabarku baik, hyung. Kamu sendiri bagaimana?"

Jujur aku tidak memiliki ketertarikan yang sama dan meski kadang tingkahnya membuatku kurang nyaman, aku tidak bisa menegur apalagi blak-blakan menolak. Mungkin nanti, jika sikapnya sudah berlebihan, aku akan bertindak dan memberi batasan yang jelas.

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now