chapter 15 - timun mas dan raksasa

348 68 11
                                    

"YAAAAK!! KELUARKAN AKU SIALAN!"

Dimulai dengan teriakan, pagi lainnya kujalani sebagai tawanan barbar yang terus menendang dan menggedor pintu. Benda itu tak berkutik walau satu milimeter, permukaannya tetap mulus sementara tangan serta kakiku memerah. Sedikit nyut-nyutan juga.

"BAJINGAN KEPARAT! BUKA PINTUNYA!!" jeritku dan ini yang terakhir. Tenggorokanku sudah mencapai batasnya, suaraku hampir habis.

Setelah menyematkan satu tendangan final, aku berjalan ke kasur sambil meringis dan terpincang-pincang. Siapa sangka kakiku mungkin terkilir dalam agenda memberontak yang sudah kulakoni selama satu jam terakhir.

Jika kalian bertanya kenapa situasi bisa jadi seperti ini, mari tarik mundur ke dua belas jam lalu dimana aku tertangkap basah sedang melancarkan aksi kabur.

Itu pukul enam petang, matahari penghujung musim panas masih akan cukup terang sampai pukul tujuh. Memanfaatkan lengang selepas pemilik rumah pergi dengan mobil sedannya, aku gesit menguak pintu yang telah dipastikan tidak dikunci.

Menuruni tangga, melewati koridor pendek dan menyenggol hiasan keramik dari atas bufet, aku sampai di pintu utama. Rupanya halaman lebih luas ketimbang rumah ini sendiri. Suasananya asri dengan tumbuhan perdu di tiap sisi jalur konblok yang mengular ke bagian samping. Dengan dua undakan, aku lolos lewat gerbang kecil.

Keberhasilan tersebut membuatku tercengang. Semudah ini? Hanya tak lama kemudian ada hal yang membuatku lebih kaget, yakni aku hampir menggelinding di salah satu turunan saat sadar lingkungan pedesaan ini tak terlalu asing. Aku masih di Korea! Orang itu membual soal keberadaanku!

Pasti dia hanya ingin aku menyerah dan tidak nekat. Memang seharusnya aku tak usah percaya padanya walau secuil.

"Kita di luar negri."

"Luar negri mana?"

"Memangnya kalau kuberitahu, apa yang akan kamu lakukan?"

Melarikan diri lah, pakai tanya.

"Tidak tahu." Menggedik. "Aku hanya penasaran. Lagipula kamu mengambil semua barangku, termasuk dompet dan ponsel. Tidak ada yang bisa kulakukan tanpa itu."

Dia tak lanjut menanggapi, lebih suka mengangsurkan sesendok makanan ke mulutku. Aku mengernyit, agak menjauah. Jujur saja, apa yang akan kalian rasakan jika dihadapkan pada orang yang jelas-jelas menyanderamu tapi juga bersikap sangat baik dan mau-mau saja menyuapimu dengan telaten?

Risih, kan?

Itu pula yang kurasakan.

"Aku bisa makan sendiri." Kalimat ini melebur bersama udara, lalu lenyap tanpa sambutan. Raut ramah lelaki di hadapanku berubah jadi sedikit datar. Jelas menandakan jika aku hanya perlu diam dan menerima.

Di tengah kegiatan mengunyah dan mata yang mengelilingi kamar untuk ke sembilan kali, kudengar ringan suaranya berkata, "Biar aku yang melakukan segalanya untukmu. Kamu cukup diam di sisiku."

Sedikit pun aku tak sudi melakukannya.

Mau setampan, sebaik atau setinggi-tegap dan segagah apapaun dia, aku tetap tidak mau.

Makanya pelarian ini terlaksana meski tanpa mematangkan rencana.

Nahas, adegan kabur yang terlalu mulus memang agak tak masuk akal. Kala merasa di atas awan karena tidak ketahuan, sebuah mobil datang dari persimpangan dan menyetop kaki telanjangku yang menginjak kerikil kecil.

Aku terperanyak, sedikit menjengkang saking kaget. Lagi, orang ini menyergapku. Ia memandangku geli, lanjut mengeroyotkan mulut. "Kamu pikir kamu mau ke mana, cantik?"

cromulent | jaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang