chapter 25 - perasaan konyol

317 62 2
                                    

"Ini sakit, Selena."

Aku menatapnya menggunakan sisa tenaga yang bahkan tak cukup untuk sekadar menahan kelopak mata.

"Benar-benar sakit ...."

Telah lama waktu berlalu sejak operasi terakhir, namun sampai saat ini aku masih dalam proses pemulihan. Setengah mati menahan sakit berbulan-bulan.

Laki-laki sinting itu menepatkanku di ujung tanduk, antara hidup dan mati. Ia menggadaikan nyawaku pada metode yang baru pertama kali dilakukan. Dengan bengis dia memanfaatkanku, si tikus percobaan yang tak punya pilihan.

Tanganku gemetar, masih sama setiap kali ingat betapa mengerikan rasa yang mendampingi proses pertama membuka mata. Katanya, dua pekan aku terbujur koma. Tapi bahkan selepas selama itu, aku seakan-akan memiliki luka yang dibiarkan terbuka dan dikerubungi lalat. Sungguh sakit yang luar biasa dan tak dapat diatasi.

Aku menangis beberapa kali dalam sehari, ketakutan oleh bayangan seberapa tinggi potensi untuk gagal. Yang sewaktu-waktu kalau lengah, kematian akan menyelinap dan merenggutku.

Bedebah sialan itu sudah mempraktikan prosedur ekstrem dan mengangkat tulang rusuk ke 12 milikku hanya agar pinggang ini jadi lebih ramping.

Dia dan obsesinya terhadap coretan tidak jelas itu sangat memuakkan.

"Orang bilang, bahkan si bodoh bisa jadi cerdas dalam semalam kalau sudah berambisi. Apa kabar kalau tekadnya dilatarbelakangi cinta? Terlebih ini kemauan putra kesayangannya, tentu Tuan rela melakukan apa pun demi mewujudkannya."

Barangkali Selena bosan menatapi hujan lebat di luar sana, ia berbalik, memandangku dengan tangan terlipat. Ia menyambung, "Sepertinya dia akan terus pada niatnya biarpun harus mengorbankan seperempat populasi anak lelaki di dunia. Tapi berkat dirimu, hal itu tidak perlu terjadi. Kamu ciptaan yang hampir berhasil setelah sepuluh tahun dia menggeluti hal kotor ini. Setidaknya meski kamu jadi korban yang menyedihkan, kamu berhasil menyelamatkan banyak orang."

Aku mendengus. "Memangnya aku siapa harus menyelamatkan banyak orang? Pahlawan? Malaikat? Yesus? Tidak, Selena. Aku hanya manusia biasa. Aku tidak mau menumbalkan diriku demi siapa pun. Walau kamu bilang keberlangsungan populasi manusia ada di tanganku, aku tetap tidak mau melakukannya."

Selena terkekeh, melenggang duduk di sofa. "Lalu apa rencanamu untuk menghentikan  semua ini?"

Hanya dengan satu pertanyaan, aku berhasil dibungkam.

Rencana, ya ...

Aku tidak memilikinya.

Seperti tahu arti keterdiamanku, Selena menurunkan kakinya yang dilipat angkuh dan memberi tanda-tanda akan pergi. "Nah. Selagi kamu memikirkannya, aku akan kembali bekerja."

Di atas ranjang aku meremas seprai, gelisah akan jarak yang kian memanjang. Ujarku menguar terpepet namun berhasil mencegah Selena. "Bantu aku!"

Ia diam, tetapi masih memunggungiku.

"Aku benar-benar sudah tidak bisa berada di sini. Kumohon bantu aku, Selena."

Tak digubris. Selena malah melanjutkan perjalanan, membuatku bingung dia setuju atau tidak.

Berhari-bari selanjutnya, aku masih tepekur di kamar. Sepanjang waktu kujalani sambil bergelut dengan waswas. Sampai satu saat, dua orang perawat datang ke kamarku membawakan makanan. Makanan kesukaanku.

Ini pertanda buruk.

Tanganku gemetar lagi, nyaris tidak kuat memegang sendok dengan benar. Aku sangat tahu tahap ini bermakna kalau besok aku akan kembali dioperasi.

cromulent | jaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang