senanda || continue? or, stop!

817 88 17
                                    

What am I supposed to do without you?
(Gwen - Aislinn Davis)

———

Senanda meraih dan menyobek kemasan snack yang entah ke berapa sebagai camilan untuk teman nontonnya. Ia baru saja menemukan satu anime bagus. Tidak mau ketinggalan, Senanda langsung mengurung diri di dalam kamar semenjak pulang sekolah tadi.

"Kok, bisa aku baru tahu anime-nya sekarang. Bagus banget padahal, tapi sayang underrated."

Kalimat tersebut tergumamkan berkali-kali lewat mulut yang tidak berhenti mengunyah itu. Meski begitu, matanya sesekali melempar lirikan pada ponsel yang sengaja diletakkan di samping laptop. Jaga-jaga saja kalau semisal Aiden ada mengirim pesan atau menelepon.

Tapi, kenapa Kak Ai nggak ada chat aku, ya. Tumben. Begitulah pikir Senanda di sela kegiatan nontonnya. Alhasil ia jadi harus mengulang lagi ke durasi sebelumnya di mana ia melewatkan fokus.

"Kak Se."

Senanda tersentak kecil mendengar panggilan Kaivan. Terlebih melihat kepala adiknya menyebul dari sela pintu yang terbuka. "Eh, iya, Kai?"

"Aku bosan, nih. Jajan ke luar, yuk, Kak." Kaivan akhirnya memasuki kamar Senanda.

"Jajan apa?" Senanda tentu paling bersemangat kalau diajak membeli jajanan. Ia seketika teringat sesuatu. "Aku ada tempat makan sate baru yang enaaak banget, Kai."

Kaivan mengangguk. "Ya sudah, ayo."

"Aku ganti pakai sweater dulu." mengingat sudah memasuki malam hari, Senanda tentu tidak ingin mencari penyakit dengan hanya memakai pakaian tipis saat keluar rumah. Jadi setelah berganti pakaian, ia segera menyusul Kaivan di lantai bawah, terlihat sedang meminta uang kepada sang bunda.

"Hati-hati membawa motornya, Kai. Jangan pulang terlalu malam, ya," pesan bunda sembari mengusap kepala kedua anaknya.

Setelah mengantungi izin serta uang dari bunda, dua bersaudara ini lekas berangkat menuju tempat makan enak rekomendasi dari Senanda. Karena tempatnya tidak terlalu jauh, mereka hanya butuh kurang dari 20 menit untuk sampai.

"Ramai juga yang beli," celetuk Kaivan setelah mengamankan motor. Mereka berdua masuk ke tempat itu dengan Senanda yang bertugas memesankan, dan Kaivan mencari meja.

"Aku tahu tempat ini dari Kak Ai tahu, Kai. Pas waktu kamu masuk rumah sakit, kan, aku dititip ke Kak Ai. Jadi aku dibawa ke sini, deh," cerita Senanda. Mengingat Aiden, ia jadi terpikirkan lagi apakah cowok ini jadi menemui orangtuanya malam ini. Tapi kenapa tidak ada kabar sama sekali. Tidak jadi, kah? Apa mungkin kekasihnya itu butuh waktu sedikit lagi untuk mempersiapkan mental? Senanda, sih, tidak masalah.

"Dia tahu Kak Se suka jajan." Kaivan terkekeh. Tidak lama setelahnya, pesanan mereka pun datang, beserta teh hangat. Tidak perlu diragukan lagi sebenarnya. Selera Kaivan dengan Senanda itu persis sama. Jadi ketika Senanda bilang enak pada suatu makanan, maka itu sudah pasti enak dan sesuai di lidah Kaivan. Seperti kali ini. Ketika pertama mencobanya, dia langsung suka. "Beneran enak, Kak."

Senanda tersenyum senang. Ia memesan seperti halnya bagaimana Aiden memesankan, yaitu dengan mencampur dua kuah yang tersedia.

"Kak Se," panggil Kaivan tiba-tiba. "Kenapa mau sama Bang Aiden?"

Senanda terdiam sejenak. "Nggak tahu juga. Aku susah mau menjelaskannya bagaimana."

"Kalau sekiranya Ayah sama Bunda nggak setuju, dan meminta kalian putus—"

"Ya, jangaaan. Kai, mah, jangan begitu ngomongnya." Senanda menatap cemberut pada Kaivan dengan alis menukik kesal. Ia merasa semakin gelisah saja mendengar ucapan pengandaian adiknya itu.

Senanda.Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt