senanda || se's big baby

1K 82 13
                                    

You know, when I'm with you
I'm so much happier
(Silver Tongues - Louis Tomlinson)

———

Senanda merasakan kepalanya diusap oleh seseorang. Rasanya nyaman sekali, tetapi tidak mampu membuat dirinya kembali terlelap. Itu karena hari sudah mulai siang. Sebab, ketika ia perlahan membuka mata, seketika itu juga ia mengeluhkan cahaya terang benderang yang terasa menusuk retina. Senanda langsung menyipitkan mata.

Seseorang yang tadi mengusap kepalanya menyodorkan segelas air yang berada di nakas. Senanda menerima dengan senang hati. "Makasih, Bun," ucapnya, lalu mengernyit. Rasanya selalu aneh dan asing saat ia berbicara, namun tidak ada suara yang tertangkap oleh indera pendengarannya. Membuatnya sedikit merasa takut. Anisa seperti paham akan hal tersebut karena setelahnya dia sendiri yang memasangkan alat bantu dengar itu pada kedua telinga Senanda.

"Ayo turun. Kamu belum sarapan, Kak," kata Anisa sembari beranjak dari tepi kasur.

Senanda mengusap wajah. Masih mengantuk. "Sekarang jam berapa, Bun?"

"Jam sepuluh kayaknya. Bunda tunggu di bawah, ya. Jangan lama-lama di kamar mandinya. Jangan sambil melamun juga sikat giginya."

Senanda cemberut. "Aku nggak begitu."

Anisa hanya tertawa, tanpa berkata apa-apa lagi, dia pun keluar dari kamar. Senanda melakukan peregangan ringan pada tubuhnya selama beberapa saat. Ia kemudian menatap sekitar kamar dan mengerjap. Rasanya seperti ada yang kurang, tapi apa?

Ah, itu! Senanda mengangguk mengerti. Ini jelas bukan hari weekend yang ditunggu-tunggu, namun Senanda masih berada di rumah dan baru terbangun di jam sepuluh pagi. Ia jelas lupa bahwa hari ini dirinya sengaja izin untuk tidak sekolah karena sakit. Mungkin Anisa sudah menelepon wali kelasnya untuk itu.

Senanda melangkah ke kamar mandi melakukan bebersih singkat. Perutnya sedikit keroncongan, omong-omong. Senanda itu tipe orang yang terbiasa sarapan. Jadi kalau pagi, perutnya sudah memberi kode, menyuruhnya makan.

"Bunda masak apa untuk sarapan?" tanya Senanda saat melewati ruang santai di mana sang bunda, Anisa, sedang menonton.

"Lihat saja sendiri, Kak. Padahal kamu juga akan ke dapur juga." Anisa mengomel.

Setelah mengambil makanannya, Senanda duduk di sebelah Anisa. Bosan juga kalau berada sendiri di dapur. "Wali kelas aku sudah Bunda telepon?" tanya Senanda.

"Sudah, kok." Anisa menyahuti. Kemudian diperiksanya dahi Senanda. "Panasnya sudah enggak, flu gimana? Masih?"

Senanda menggeleng. "Sudah jauh lebih baik, Bun." memang sih, terbukti dengan rona wajah itu yang terlihat sudah tidak pucat kemarin lagi.

"Bagus, deh." Anisa mendesah lega sekali. Senanda memang mudah jatuh sakit. Untuk hal kecil seperti terkena gerimis saja, bisa membuatnya tumbang. Apalagi akhir-akhir ini sepertinya ada yang mengganggu pikiran anak sulungnya tersebut.

"Se, apa ada masalah atau sesuatu yang sedang dipikirkan? Kamu bisa cerita sama Bunda."

Senanda bungkam. Ia memilih untuk memenuhi mulutnya dengan makanan agar bisa berpikir sejenak.

"Bunda akan mendengarkan kalau kamu memang mau bercerita. Bunda nggak maksa, kok, harus cerita sekarang. Senyaman Se saja, ya." Anisa mengusap bahu Senanda dengan sayang, lalu kembali menatap layar TV di depan sana.

Senanda lanjut makan meski otaknya sibuk berpikir harus bagaimana bagusnya. Ia menghela napas gusar sembari menatap Anisa dari samping. "Aku lihat Gio lagi, Bun," gumamnya.

Senanda.Where stories live. Discover now