Bab 68 | Rumitnya Hati Manusia

7.4K 1.2K 255
                                    

Bjir. Udah lewat sebulan aja tau-tau. Anggap ini THR yang tertunda hehe. Oke met baca :3

Btw jangan lupa baca bab sebelumnya. Takut lupa gitu kan. Biar emosinya juga bisa lebih nyambung gitu hu um.

2k+ words.

Sudah lama sejak dia pasrah dengan segala kelakuan putranya. Itu juga menjadi satu bentuk kesadaran diri bahwa ini memang bagian dari kesalahannya sendiri. Jadi Azra melepaskan setiap tindakan tak terkontrol Azka.

Entah itu kabur dari rumah, hilang entah kemana, kelakuan nakal dan bebas yang tak terkendali, semuanya Azra sudah pasrah.

Tapi kali ini, dia tidak bisa duduk sambil menghela napas saja.

Sudah sejak pagi tadi dia mencoba menggali keberadaan anak itu. Bahkan diam-diam mengirim orang untuk mencarinya.

Bahkan sampai menghubungi Geandra, ibu pacar anaknya yang jelas sudah dikenalnya. Satu jawaban wanita itu membuat Azra makin sakit kepala.

Farah juga sudah minggat terhitung dari beberapa hari lalu.

Anak-anak ini... Azra sampai harus memijit pelipisnya. Tapi begitu serangan fakta menghantam, dia diam membeku

Siapa yang berjasa telah membuat anak-anak malang itu kehilangan arah?

Ketika dia mulai lelah menunggu dan hendak kembali masuk ke rumah, saat itulah seseorang muncul dari balik gerbang. Pakaiannya kusut dan tampak sangat acak-acakan. Azra mendengus lega tapi juga kesal. Begitu anak itu sudah cukup dekat, dia berkata tegas.

"Dari mana kamu?"

Mengangkat muka, sosok ibunya yang cantik dengan blouse cokelat muda dan rok span hitam membuat mata Azka menyipit. Namun bibirnya begitu rapat ketika dia berjalan melewati wanita yang tengah menyedekapkan tangan.

Bisa didengar helaan napas jengah dari wanita itu.

Baru Azka menginjak lantai marmer rumahnya, dari dalam telah muncul terlebih dulu seorang gadis sambil menggendong makhluk gembil. Azka berhenti mendadak.

Wajah si gadis, tak terbaca. Tapi Azka bisa menangkap sedikit aura bertanya dari wajahnya. Azka berjalan mendekat, berdiri di hadapan keduanya.

Dia lalu menepuk pucuk kepala bayi yang sedang memakan biskuit. Hanya sekali, lalu berjalan masuk begitu saja ke dalam. Seolah lelah dengan semua yang ditawarkan dunia pada hidupnya.

***

Sudah cukup. Lebih dari seminggu ini berlangsung dan Mia sudah punya lebih banyak racun di ujung lidah yang bisa dia semburkan sewaktu-waktu.

Sejak dia diculik ke rumah ini, sejak itu juga Gio akan rutin memberkahinya dengan kerja rodi terkutuk hingga dia yakin seluruh tubuhnya kehabisan energi.

Semua jenis pekerjaan rumah harus dilakukannya---SENDIRIAN.

Bah. Dia bahkan nyaris tak pernah memegang sapu di rumahnya sendiri. Bisa-bisanya cowok ini memperkerjakannya seolah dia adalah lulusan cum laude sarjana perbabuan.

Dibanting tumpukan baju kotor ke muka si cowok.

"Heh, lu. Dengerin gue ya lu." Mia menarik napas bergetar. Tersirat menahan keras emosinya. "Gue bukan babu. Oke. Lu miskin banget apa gimana sampe harus gue semua yang kudu ngerjain kerjaan rumah lo?"

Walau diucapkan dengan tenang, penekanan di tiap-tiap kata jadi bukti betapa marahnya dia kini.

Dengan santai, disingkirkan perlahan helai pakaian itu. Buku tebal yang baru dibacanya diletakkan ke meja berikut gerakan berbahaya. Dia bangun dari duduknya.

90 Days, Education Of Being ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang