Bab 60 | Orang Tua

9.6K 1.4K 187
                                    

Malam, semua.

Bab kali ini, aku ngerasa lumayan ngebosenin. Tapi sayangnya emang ada beberapa pov yang menurutku penting untuk dibuat. Terutama untuk kelanjutan cerita berikutnya.

Oke selamat membaca :)

Typos

"Dari mana?"

Begitu dia membuka pintu, sapaan tersebut segera mampir. Di dalam ruang kerja sudah menunggu wanita cantik dengan celana hitam. Tubuh atasnya tertutup kemeja dan blazer merah.

"Hm, kapan sampai di sini?"

"Setengah jam lalu." Jawabnya sambil memperhatikan suaminya menghela napas dan melemparkan diri ke kursi kerja. Wajahnya letih, namun tetap memaksakan diri mengamati monitor di hadapannya.

Aktivitas padat menjelang pemilu serentak, ditambah beban tambahan dari perusahaan cukup membuat raga paling sehat pun terlihat kuyu. Kendati untuk ukuran manusia yang nyaris menghabiskan seluruh waktu saat matahari menguasai bumi hanya untuk bekerja, Genta terlihar bugar.

Tinggal beberapa hari tersisa sebelum memasuki waktu kampanye. Kandidat yang diusung adalah Presiden yang menjabat kini. Survei internal memang menunjukkan mereka unggul. Persentase kepuasan terhadap kepemimpinan juga cukup tinggi. Namun harus selalu ada rencana cadangan.

Azra menyimpan ponsel. Lalu berjalan perlahan mendekati meja besar yang tengah didiami seorang pria. Menyender sambil menyilangkan tangan di dada.

"Azka gimana?"

"Gimana apanya?"

Sang istri mendecakkan lidah lalu bicara tak sabaran. "Kondisinya---"

"Ya kamu kan ibunya, coba tanyain."

Jawaban Genta membuat wanita cantik tersebut mendengus. "Menurut kamu, kenapa dia mau pulang tiba-tiba?"

Matanya tak beralih dari perangkat elektronik, seolah tak terlalu memperhatikan. Namun seluruh indra pendengaran berfungsi total. Kembali mendengarkan istrinya berpendapat.

"Mungkin gak, karena anak perempuan itu?"

Genta berhenti sesaat. Melirik wanita yang telah dinikahinya hampir selama dua puluh tahun. "Mungkin." Akhirnya gurat lelah yang tertahan benar-benar banjir dalam ekspresinya. Mengelus dahi pusing dengan tingkah anak semata wayang. "Siapa nama ceweknya?"

"Syakilla."

Mata hitam legam menyorot lurus ke mata coklat sang istri. "Aku belum cek latar."

"Orang biasa." Azra menyambung cepat. "Normal."

Kemudian terdiam. Mata terpejam berusaha memikirkan sesuatu. Diakhiri dengan hembusan pasrah. "Ya udahlah, terserah dia. Hidup, hidup dia ini."

"Cucu kita, keliatan persis kayak Azka waktu kecil dulu."

Ada panggilan dari telepon. Namun tak digubris Genta yang kini memaku tatap ke wajah istrinya.

Wajah cantik yang sangat memukau. Sanggup membuatnya setuju menjalin komitmen suatu waktu pada dulu kala. Sosok yang akan memberikan senyuman hangat, dengan mata yang dingin.

Tapi kali ini, rautnya dingin. Namun matanya hangat.

"Cerewetnya, senyumannya, cemberutnya," bulu mata Azra tertunduk. "Bener-bener persis."

Siang itu begitu terik. Namun suhu dalam ruangan kantor sangat sejuk. Dingin, justru. Entah karena pengatur suhu, atau hal-hal lain. Genta merobek pandangannya. Mencoba beralih kembali pada monitornya.

Tapi seorang wanita di ruangan tiu kembali berujar---berandai-andai

"Kalau kita normal, menurut kamu, Azka jadi gimana?"

90 Days, Education Of Being ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang