Bab 52 | Keputusan

10.2K 1.7K 316
                                    

Malam semua...

Asiiik, update kita malam ini?

Dikit, cuma 1300 kata. Mau aku tambahin tapi ah sudahlah...

Utey met baca :*

Sabtu malam ini lobi apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Mungkin karena sebagian besar pemilik memilih pergi ke luar bersenang-senang, atau apapun itu. Azka membuka pintu tempat tinggalnya dan bergegas.

Dia pulang lebih dulu, untuk mengambil kendaraan. Meski sebenarnya bisa saja dia menyewa kendaraan umum, cowok itu hanya ingin memastikan perjalanan istri dan anaknya nyaman. Besok pagi baru dia akan menjemput mereka.

Tengkuk Azka tergelitik.

Ungkapan itu punya sihir yang misterius baginya. Sulit dijabarkan. Lebih dari itu, dia tidak keberatan.

Seharian ini menghabiskan waktu bermain di kebun binatang, Azka bahkan lupa belum genap 24 jam lalu dia demam tinggi. Tidak, dia bahkan lupa dengan beberapa mekhluk yang mendatangi kediamannya tadi pagi.

Dia benar-benar lupa. Termasuk ketika mendorong pintu apattemen.

Manik Azka melebar.

Ada seseorang menunggunya di ruang tamu.

Bibir Azka merapat. Sebentar, dan satu garis tipis melengkung ke atas terbit.

"Farah..."

"Hei," gadis yang awalnya bermain ponsel di atas sofa bangun. Senyuman lebar ada di bibirnya. Kaki-kaki jenjang telah mendekat dan membimbing pemiliknya mengambil satu kecupan singkat di bibir kekasihnya. "Welcome."

Azka tetap tersenyum kecil.

Ragu ditunjukkan dengan bibir bawah yang terjepit gigi. Farah bergumam, "maaf, soal tadi pagi..."

Kembali ada awan mendung di wajah Azka.

"Aku berusaha hubungin kamu sebelumnya. Mama aku baru sampai di Indonesia kemarin malam. Dia langsung ngasih tau tante Azra dan ngotot ketemu kamu pagi ini." Farah mendengus. "Dan aku gak bisa kasih peringatan lebih awal ke kamu."

"Gak masalah."

Beberapa petuah bilang jangan menebar garam di luka yang terbuka. Menjauhi topik yang dapat memantik konflik adalah pilihan bijak dari pada terjebak pusaran kemarahan tak berkesudahan. Jadilah umumnya, tak ada yang ingin mengangkat begitu saja bahasan sejenis itu.

Farah tercenung. Sebelumnya, Azka tidak pernah setenang ini jika sudah mulai menyinggung hal-yang-lebih-baik-tidak-perlu-disinggung. Yang ditunjukkan sekarang benar-benar hal asing, ketika cowok tinggi itu mengendik dan berjalan masuk lebih jauh.

"Mereka pakai kata 'kecewa' karena kita sama sekali gak ngasih tau soal Kiel secara langsung. Bahkan berani nyinggung soal Syakilla." Jauh sebelumnya, mereka berdua sepakat untuk tidak perlu melibatkan keluarga besar ke dalam masalah ini. Farah mewanti-wanti masalah yang akan timbul jika banyak orang tahu.

Azka menyetujui tentu saja. Dan ketika itu, rencana hidup sebagai sebuah keluarga kecil mekar, dengan sinar hangat keemasan meski samar-samar.

Tengkuk Azka tiba-tiba diguyur es.

Dia, hampir lupa dengan rencana itu.

"Omong-omong, hari ini kamu kemana aja?"

Pertanyaan Farah menghentikan langkah Azka.

"Kamu bahkan gak bawa mobil?" Ikut mendekat, wajah cantik penuh rasa penasaran. "Dan hp kamu gak bisa dihubungin?"

Jujur saja, ketika dia menyeret Syakilla keluar dari apartemen, Azka masih sempat melempar ponselnya sendiri ke kolam air mancur depan gedung. Dia meyakini akan ada sekumpulan panggilan pemantik emosi dan itu adalah hal terakhir yang diinginkannya. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana nasib benda itu sekarang.

90 Days, Education Of Being ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang