senanda || se's big baby

Start from the beginning
                                    

Anisa menoleh cepat. Tangannya memegangi bahu Senanda, meneliti keadaan anaknya dari atas sampai bawah. Kentara sekali khawatirnya. "Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Aku baik-baik aja, kok, Bun." Senanda menelan ludah, sebelum melanjutkan, "Itu sudah lumayan lama. Saat pertandingan basket Adit waktu itu."

Anisa mengembuskan napas lega, namun tidak berlangsung lama karena setelahnya dia kembali siaga. "Dia masih ada di kota ini?"

"Bukan. Kayaknya dia dari sekolah di kota lain."

"Kalau kamu lihat dia lagi, langsung cepat-cepat pergi aja. Oke?" Anisa berucap cemas.

Senanda mengangguk pelan. Baru ia ceritakan itu saja Anisa sudah sangat khawatir. Apalagi jika menceritakan soal DM itu juga. Bisa-bisa ponselnya yang disita.

Berbicara mengenai ponsel, dari semalam ia sudah tidak memegang benda itu. Bukan, lebih tepatnya dari ia pulang sekolah. Mungkin benda itu masih di dalam tas saat ini dalam kondisi silent mode. Berharap Aiden tidak mengirimkan pesan apa pun, karena cowok itu pasti akan mengirimkan lebih banyak lagi dan bisa sampai meneleponnya puluhan kali jika Senanda tidak membalas dalam waktu dekat. Jangan sampai cowok itu dengan tiba-tiba datang ke rumahnya.

Ah, tapi tidak mungkin. Sekarang kan, masih jam sekolah.

Begitu pikirnya.

Tetapi bukannya berada di sekolah dan belajar seperti murid rajin lainnya, Aiden ternyata masih berada di apartemen. Cowok itu izin sekolah juga sama seperti dirinya. Dengan alasan yang sama pula.

Senanda mengetahuinya melalui pesan beruntun yang Aiden kirimkan. Terakhir, cowok itu hanya mengirimkan sebuah foto berisikan dirinya sendiri yang terbaring di atas kasur dengan tangan menutupi sebelah mata hingga dahi. Tatapan itu memelas sekali. Hidungnya juga tampak memerah samar.

... dan juga sebaris kalimat di bawah foto tersebut yang berbunyi; Se, kayaknya gue tertular elo, deh. Tidak lupa dengan satu emotikon sedih.

Astaga!

〰️

Pandu berdecih sesaat setelah memeriksa dahi Aiden. Tubuhnya dihempaskan pada sofa. "Gue kira lo sakit yang hampir sekarat begitu loh, Den. Tapi ternyata cuma demam ringan begini aja? Sia-sia rasa khawatir gue ini, mah." dia mencak-mencak.

"Si goblok!" hardik Inggrid setelahnya sambil memukul pundak Pandu dengan beringas. "Jangan terbiasa doa yang jelek buat temen sendiri, deh, Ndu. Harusnya bersyukur karena cuma demam. Kalau dia sakitnya hampir sekarat kayak sakit kanker stadium akhir, nangis darah lo."

Mungkin saat pembagian akhlak, Pandu mangkir. Maklumi saja.

Restu hanya tertawa. Dia malas ikut campur kebisingan tidak berfaedah itu. Tontonan di TV depannya lebih menarik, lebih menghibur.

"Ya, maaf." Pandu mencicit. Ciut juga. Hanya Inggrid yang mampu meladeni dan mengalahkan mulut besar Pandu.

Aiden sendiri melengos malas. Tampangnya seolah menyatakan kalau ia m-u-a-k sekali. "Pulang dah, kalian semua. Makin sakit gue yang ada kalau kalian datang ke sini."

"Apaan, dah, ngusir." Pandu beranjak, dan menghilang di balik dapur. Tidak tahu diri sekali memang.

Aiden menghela napas lagi. Padahal saat ini ia sedang menunggu kedatangan Senanda, tetapi malah tiga curut yang sayangnya adalah sohibnya sendiri yang malah memunculkan diri. Senanda hanya mengatakan akan ke apartemennya nanti. Nanti, yang entah jam berapa. Aiden seperti orang bodoh yang menunggu tanpa pasti.

Pandu kemudian kembali dari dapur dan berkata sembari menyedot sesuatu. "Gue ambil satu, ya, Den, susuk kotak yang ada di kulkas."

Lirikan sinis langsung saja Aiden layangkan pada Pandu. "Udah dibilang jangan ambil yang itu, Bego! Masih ada minuman soda lainnya, kenapa malah ambil yang itu, sih." ia berdecak.

Senanda.Where stories live. Discover now