Ephemeral Love 14

38K 2.6K 4
                                    

Flora tiba di rumah. Kebetulan dia bertemu dengan Vian di rumah sakit, jadi mereka pulang bersama-sama. Rumah mereka sudah berjauhan sekarang ini, tidak lagi tetanggaan seperti dulu.

“Terimakasih Vian. Hati-hati di jalan dan jangan mengebut,” ucap Flora.

“Iyaa.. ” Vian melambaikan tangan dan langsung melajukan mobilnya.

“Eh, ayah sudah pulang.” Flora langsung menghampiri Tommy dan memeluknya. Tidak ingin munafik, dia suka dipeluk dan memeluk ayahnya.

“Kamu kembali manja. Bagaimana harimu?” tanya Tommy. Putrinya bergelayut manja padanya, dia tersenyum dengan tingkahnya itu.

“Aku hanya melakukan pekerjaan biasa. Ingin sekali aku menolong operasi hari ini, tapi pak Yogi dan yang lainnya melarangku," ucap Flora.

Tommy berhenti dan menyentil dahi Flora. “Itu aktivitas berat! Tidak boleh, oke?”

Flora pun tersenyum dan mengangguk-angguk.

--o0o--

Pagi yang cerah pun tiba.

Flora sangat bersemangat untuk kembali bekerja. Jauh dari Adrian membuatnya nyaman dan bebas.

“Flora, bekal dan obatmu?” ucap Tommy melihat putrinya yang buru-buru.

“Sudah.” Flora menyahut dan langsung pergi keluar. Tommy pun mengikutinya.

“Eh, pak Dony mana?" tanya Flora pada supir baru yang membuka pintu.

“Di belakang. Adrian ingin kamu diantar dan dijemput supirnya. Katanya agar tunangannya yang manja ini pulang tepat waktu,” jawab Tommy.

Flora mengerutkan keningnya dan menatap Tommy. “Tidak mau, aku mau sama pak Dony saja. Pak botak itu menakutkan,” bisik Flora pada ayahnya.

Tommy tertawa. “Sudahlah, Flo. Dia baik, kok.”

Flora pun menurut.

Setibanya di rumah sakit, supir itu langsung membukakan pintu.

“Nyonya, tuan Adrian ingin anda pulang jam empat sore. Saya akan menunggu di sini,” ucap pria itu.

“Katakan pada tuanmu jika itu bukan jam pulang ku,” balas Flora. Sebenarnya dia sedikit takut dengan pria didepannya itu. “Terimakasih, jangan tunggu aku.”

“Tapi nyonya...” ucap supir itu.

Wanita itu tidak peduli dan langsung pergi.

  Flora langsung mengerjakan pekerjaan dengan sigap. Dia selalu ingin melakukan pekerjaan lebih, saat melihat pasien-pasien membutuhkannya. Namun semua orang benar-benar membatasi aktivitasnya.

Sam dan Windy menghampiri sahabatnya yang sudah selesai melakukan pemeriksaan berkala pada pasiennya.

“Makan, yuk! Aku sudah lapar,” ajak Windy.

“Duluan saja, aku ingin memeriksa sambungan selang-selang ini,” ucap Flora. Kini dia beralih pada pasien lainnya. Pasien itu memang dokter lain yang menangani, tapi sebenarnya Flora sudah terbiasa dengan kasus besar seperti itu. Jadi dia ingin sekedar memperhatikan kondisinya.

Sam dan Windy menunggu. Mereka menatap Flora yang sangat telaten itu. Flora yang biasa mereka lihat sebenarnya memang pintar dalam dunia medis, tapi penakut jika sudah berurusan dengan bedah. Itu yang membuat nilai prakteknya tidak terlalu baik, jadi kegiatan wanita itu benar-benar dibatasi.

Baru saja selesai, Sam dan Windy langsung menggandeng Flora ke kantin.

Mereka pun makan siang.

“Enak?” tanya Sam pada Flora yang makan sambil memejamkan matanya.

“Aku tidak berbohong, masakan bi Helma benar-benar enak.” Flora mendorong bekalnya dan menunggu teman-temannya untuk mencobanya.

“Enak sih. Tapi jajanan di pinggir jalan lebih enak," ujar Windy.

“Benar. Aku rindu sekali makanan-makanan itu. Tapi ayah melarangku dan pengawal-pengawal menyebalkan itu mencegat ku. Sekarang supir ku pun diganti menjadi supir dari Adrian. Hidup seorang Flora benar-benar tidak enak,” ujar Flora panjang lebar. Dia mengeluarkan unek-uneknya yang merasa kesal dengan pengawasannya.

“Tapi kan itu memang tidak baik untuk mu.” Sam menggeleng.

“Lagipula pak Adrian ingin tunangannya yang manja ini baik-baik saja. Harusnya kamu senang dengan perhatiannya,” ujar Windy.

“Eh, Vian?” Flora melambai pada Vian yang baru datang.

Pria itu pun menghampiri. “Jangan lupa obatmu,” ucap Vian mengelus kepala Flora.

“Iya, sedang apa disini?” tanya Flora.

“Menjenguk temanku, dia sakit.” jawab Vian.

“Heh, Vian! Kemarin kamu bilang menjenguk tantemu," ujar Windy curiga.

“Ya, sekarang teman ku yang sakit. Si Rayyan,” jawab Vian jujur apa adanya. Soal kemarin, dia memang berbohong. Sepulang dari kantor dia mampir untuk melihat Flora.

“Oh, ku kira kamu datang untuk melihat Jesika.” ucap Windy terkekeh. Wanita yang dia maksud merupakan dokter mata, salah satu teman semasa SMA mereka.

“Bukan,” jawab Vian santai.

Ketiga orang itu menatap Flora yang meminum obatnya. Wajar jika mereka khawatir padanya, dulu dia sering menangis bercerita tentang percintaannya yang bertepuk sebelah tangan.

“Ah, pahit. Untung saja tidak sebanyak kemarin," gumam Flora.

“Peningkatan yang bagus, Flora. Kamu akan segera sembuh,” ucap Vian tersenyum manis. Dia menatap lekat wanita di sampingnya itu.

“Ya, aku sudah mengurangi beberapa obat. Dokter Yogi setuju karena aku mengalami peningkatan. Ini keren, karena Flora bisa diselamatkan,” ujar Flora terkekeh. Tingkahnya malah mendapat tatapan kasihan dari teman-temannya.

“Kenapa memandangku begitu?”

“Bermanja-manjalah seperti biasanya. Kami tidak masalah,” ucap Sam.

“Ya, jika ingin menangis juga tidak apa-apa.”

“Adrian akan segera pulang. Dia hanya bekerja bukan berduaan saja dengan Isvara,” ucap Windy.

“Yang benar saja teman-teman, aku tidak punya masalah dengan semua itu. Aku merasa senang dengan kesehatan ku," balas Flora. Dia agak bingung dengan respon teman-temannya. Apa dia sangat mencintai seorang Adrian? Apa pria itu selalu mengacuhkannya?

EPHEMERAL LOVE Where stories live. Discover now