A day to life

246 25 2
                                    

.
.
.
.
.
“Ngapain, Pa?”

“Papa nggak tau kamu bisa lukis gini...” Sam duduk di sebelah Arsena. Dia bukan Bara, dia cukup berani melawan Papanya. Bukan melawan, tapi membela diri.

“Apa yang Papa tau soal aku? Nggak ada Pa... papa inget tanggal ulang tahun kak Bara? Ulang tahun aku? Ulang tahun Mama?” Arsena terdiam. Dia hanya tahu satu tanggal lahir dari tiga orang yang Sam sebut.

“....”

“Pah... aku nggak marah. Sekeras apa pun Papa. Papa tetap Papaku, bang Bara bilang aku nggak boleh benci Papa.... aneh ya, padahal Papa jahat banget sama dia” Arsena menunduk. Mengepal kuat tangannya.

“Dulu... Kyle di usir keluarga suaminya, Sam. Orang tuanya sendiri nggak mampu. Dulu, Opa nggak setuju karena ekonomi kita beda jauh. Kita pisah karena papa ke Amerika, karena di paksa. Kyle nikah, karena orang tuanya juga....”

“Pah, intinya aja. Papa tau aku benci tante Kyle....”

“Mama, Sam!”

“Pah!!” tak mau dibantah. Lihat, sifatnya mirip dengan Arsena yang tidak suka ucapannya di lawan. Jangan salahkan juga jika ia bisa ringan tangan. Selain keturunan, apa yang ia saksikan hanyalah itu.

“Huh....” dia juga pada akhirnya menyerah. Dia tak ingin ribut dengan Sam. Apa lagi Sam baru pulang dari Rumah Sakit. “Papa mau kamu terima Mama Kyle, Sam. Papa tau Papa salah, tapi semua udah terjadi... bilang sama Papa, papa harus gimana?”

Apa-apaan, apakah Arsena sadar dengan ucapannya? Sebenarnya dia ini ngomong apa.

“Pah, aku akan terima kalau ‘dia’ datang saat papa sendiri. Tapi, papa selingkuh! Papa nyakitin Mama....” bukan berarti dia menginginkan kematian Mamanya. Tapi jika sampai terjadi, itu akan lebih baik jika Arsena tidak bermain api seperti ini.

“Papa tau, Sam. Papa tau papa salah. Tapi, papa juga nggak bisa ngulang waktu. Papa nggak bisa hidupin Mama kamu....” Arsena menunduk. Sam kesal, kenapa sekarang rasanya seperti dia yang jahat. Tak habis pikir, sebenarnya Papanya ini waras atau tidak. “Papa mau kita mulai lembaran baru, Papa mau berubah... demi kamu.... juga Bara!”

"Papa tau salah apa Papa selama ini, selain nampar aku kemarin?"

"..." Arsena diam. Masih berusaha mengerti pembicaraan ini.

“Pah, Papa sayang aku sama Bang Bara?” tatapan Arsena berubah. Pertanyaan macam apa itu. “Papa tau... Bang Bara juga sakit, aku sakit, tapi Papa nggak ngerti?”

“Maksud kamu apa sih?”

“Pah, Papa inget Papa pernah mukul aku sama Bang Bara? Dan sekarang, papa gampang banget ngomong mau berubah?”

“Papa mukul kamu dan Bara karena kalian salah,” nada bicaranya mulai meninggi. Sungguh, kenapa banyak orang tua yang berpikir menghukum anak dengan melukai fisik adalah cara yang benar? Tidak, tidak ada hukuman yang pantas baik fisik atau Verbal jika itu akhirnya menjatuhkan mental seorang anak.

“Jadi aku boleh mukul Papa kalau Papa salah?” Arsena menatap bingung Sam. Sam sendiri juga menatapnya dengan jengkel. Seenaknya dia berkata akan berubah dan meminta untuk memulai segalanya dari awal. Padahal, dia sendiri yang membuat Bara dan Sam tetap berdiri di masa lalu. Menjadikan setiap siksaan darinya sebagai alasan untuk membenci diri sendiri.

“Kamu tu ngomong apa? Orang tua menghukum anaknya karena mereka mau anaknya berubah, menyadari kesalahan. Salah?”

“Oh, jelas salah. Karena yang Papa hukum bukan kesalahannya aja tapi jiwanya. Papa tau ngga bang Bara itu jadi beda pas aku dan Mama pergi?”

“Beda gimana?” nyolot.

“Tuh, Papa nggak tau apa-apa, kan!” Sam berdiri. Muak sekali rasanya. “Bang Bara yang aku kenal itu ceria, tapi setelah aku balik dari singapur.... bang Bara yang aku kenal udah hilang, dan itu karena Papa! Seolah orang yang aku kenal udah mati, Pa!”

“Karena Papa? Ngomong apa sih kamu? Ada-ada aja. Jangan kurang ajar, Sam!!"

"Udah lah, males Papa ngeladenin kamu. Mulai besok Papa ngga mau denger soal ini lagi. Dan mulai sekarang panggil Kyle dengan sebutan Mama, Sam. Dia Mama kamu sekarang,” Arsena meninggalkan Sam yang masih berdiri mematung. Berusaha mengendalikan emosinya. Sam merogoh sakunya, menyemprotkan sesuatu ke mulutnya.

Mati-matian ia menahan amarah. Bisa gila rasanya. Dia menendang kuat sebuah kanvas yang ia senderkan di dinding. Lukisan yang menggambarkan keluarganya. Hancur, hancur sudah keluarganya. Untuk apa berharap pada lelaki seperti Arsena. Ia senang, senang sekali ketika Arsena terlihat menyesal. Tapi, sepertinya dia hanya menyesal karena membuat Sam tergeletak sekarat.

“Anjing!!!” malam itu. Ia akhirnya tidak bisa tidur. Masih memikirkan betapa konyol orang yang ia panggil Papa itu. Bagaimana bisa ada manusia, seorang Ayah seperti Arsena. Konyol.
Mari lupakan. Buat apa memikirkan orang aneh seperti Arsena. Sangat tidak penting, dan membuang waktu. Percuma.

Morning in the Night (end)Where stories live. Discover now