Cousin

565 31 1
                                    

PLAK!!

Suara tamparan yang sukses menyita perhatian seluruh kelas. Masih sangat pagi, tapi apa yang akan dilakukan preman sekolah ini. "Sam, hei!! Sadar nyet, dia temen lo!" Tatapan dingin yang sangat dibenci banyak orang. Glen gemetar, dia takut saat melihat sahabatnya ini marah.

Brak!

Sam menendang meja dan pergi dari kelas. Glen memuntahkan nafas yang tertahan di lehernya. Dia benar-benar takut. Tidak ada yang bisa menghentikan seorang Samuel yang sedang marah. Sekalipun mereka berdua sahabatnya, tapi mereka tahu sifat Sam itu seperti minyak tanah yang akan langsing tersulut oleh api kecil sekalipun.

"Gila, lo mikir apa sih nyet?"

"Gue nggak sengaja, Than. Lagian kalian bahas gituan!" Nathan membantu Glen yang masih duduk di lantai memegangi pipinya yang sudah menjadi merah.

"Gue cuma khawatir kalau tu anak sakit lagi," bisik Nathan.
Sakit? Iya dia sakit. Sam sejak kecil sudah sakit-sakitan, tidak hadirnya sosok sang Papa bukannya membuatnya menjadi anak yang kuat karena terbiasa melakukan apa pun sendirian. Dia justru memilih jalan yang salah, masih beruntung dia tidak balapan liat atau mabuk-mabukan. Sebenarnya, dia hanya tau diri kalau tidak akan mampu. Mungkin karena dasarnya dia terlahir lemah, imun tubuhnya sering bercanda dan membuat anak itu beberapa kali menginjakkan kaki di rumah sakit.

"Weh, tumben bos besar ke sini sandiri. Biasanya sama dua kacungnya," bukan. Bukan ini yang mau ia dengar saat datang ke tempat tongkrongan. Ya, dia bolos. Berani sekali orang ini menyebut sahabatnya kacung.

Bugh.

Sebuah tinju berhasil mendarat keras di pipi Bima. Kakak kelas satu tingkat Sam.

"Bacot!"

Semua orang mengerumuni mereka berdua, tampak jelas sorot mata Sam yang minta untuk tidak di tanya. Dia duduk dan kemudian meminta kopi panas pada pemilik warung. Tak ada bantahan. Semua yang duduk di sini tahu kalau menganggu Sam yang sedang marah ujungnya tidak akan baik. Antara pergi ke UKS atau terpaksa menahan sakit. Sam itu, dulunya atlet taekwondo. Ya, dia pikir dulu berprestasi akan membuat Ayahnya yang sibuk itu bisa meluangkan waktu, sekedar melihatnya bertanding dan memberi semangat. Tapi tidak akan pernah. Entah sejak kapan, cinta yang dimiliki Papanya itu luntur. Orang tuanya sering bertengkar, Papanya jarang pulang, bahkan melihat Papanya bisa makan di rumah saja itu adalah sebuah anugrah.

Setiap hari yang dia lihat hanya sosok Mama yang stress dan frustasi dengan papanya. Ia dan abangnya cukup tahu diri untuk tidak bertanya macam-macam pada Mamanya. Jelas, ada yang tidak beres entah sejak kapan itu tepatnya.

"Lo kenapa sih?" Seseorang memberanikan diri bicara. Dia adalah Pram, Pramudya Aksara. Sekelas dengan Bima. Walau dikata Nathan dan Glen adalah sahabatnya, tapi beda dengan Pram. Dia seperti sosok guru, sahabat, dan rumah untuk Sam. Saat Sam tidak tahu harus apa dan ke mana, Pram adalah tempatnya mengadu. Pram bukan berandalan sepertinya, dia suka bolos? Iya, hanya itu. Pram sangat tertib sebenarnya, alasan bolos hanya untuk memastikan orang yang dia anggap adik ini tidak sampai menenggak narkoba atau minuman keras. Dan, hanya dia yang berani menegur amarah Sam yang seperti orang kesetanan itu.

"Nggak tau, bang. Pusing gue, di rumah nggak tenang di sini juga nggak tenang. Pengen minggat, tapi kasian Abang gue di rumah sendiri nanti!"

"Duh, urusan rumah ya? Mana berani gue ngasih masukkan. Lo udah ngobrol sama Bang Bara?"

"Udah, dia sih terserah gue kayaknya. Tapi tiba-tiba semalem katanya dia bakal ikut minggat, lo tau kan abang gue kuliah butuh banyak duit. Kalau minggat siapa yang mau bayar? Bokap gue bukan orang yang bakalan mau membiayai anak pembangkang," Akhirnya Pram tau kenapa anak ini sudah marah-marah dan dengan santai melayangkan pukulan ke sana kemari.

Morning in the Night (end)Where stories live. Discover now