Mom!!

1.4K 42 18
                                    

St. Maria High School (Jakarta)
.
.
.
Berandalan. Satu kata untuk menggambarkan sekelompok remaja yang tengah berkumpul di warung kopi milik Bu Narti. Gelak tawa ditengah candaan. Suara berisik yang membuat suara lain tak terdengar. "SAM!! BEGO, DI SINI TERNYATA!"

Semua mata menatap orang yang datang dengan buru-buru itu. Nafasnya berderu cepat. Ia menahan tubuhnya yang hampir ambruk dengan memegang erat lututnya. "Apa sih, nyet? Kayak habis dikejar Anjing!" Kata-kata kasar yang tidak akan heran terdengar dari sekumpulan remaja itu.

"Bokap lo! ...telpon.... angkat njing!" Kata pemuda itu dengan terengah-engah. Yang dipanggil sejak tadi hanya diam memperhatikan teman-temannya.

"Halah, biasanya juga gitu. Nggak penting," kata Nathan. Sam, Samsuel. Dia melihat ponsel, 23 panggilan tidak terjawab dari seseorang yang ia panggil Papa.

"...Telpon bapak lu, nyet. Penting!"

"Iya... nanti!" Jawab Sam acuh.

"Anjing, nyokap lo..." masih sibuk mengatur nafasnya. Glen terus menyuruh Sam menghubungi Ayahnya. Sedetik, dua detik. Sebuah gelas pecah tersenggol lelaki yang tiba-tiba berdiri dan berlari dari kumpulan remaja itu. Menciptakan keheningan luar biasa. Semua mata menatap Glen yang akhirnya duduk di tempat Sam tadi. Menyadari banyak mata yang membutuhkan mulutnya untuk mengucapkan sesuatu. "Nyokapnya meninggal!" Sebuah jawaban yang harusnya tidak pernah mereka dengar. Sebuah kejadian, yang membuat mereka takut. Takut dengan hari esok yang akan dilalui oleh Sam, teman, sahabat, abang, dan mungkin bos mereka.

Samuel segera pulang. Dengan motornya. Sampai di rumah, ramai.

Dia tidak peduli dengan orang-orang yang mendatanginya. Entah apa yang mereka ucapkan dengan wajah palsu mereka. Menyebalkan.

"Sam...!" Seorang lelaki berusia 42 tahun itu melihat sosok anaknya yang datang dengan keadaan kacau. Tidak ada salam khas yang selalu anak lelaki itu lontarkan pada sang Mama. Dia menyibak semua yang ada dihadapannya. Memeriksa seseorang yang masih tidur di ranjang, ia berharap benar hanya tidur. Disentuhnya tangan itu, dingin. "Nak," sang Papa bingung harus mengatakan apa. Hanya itu.

"Brengsek!" Semua kata yang tidak pernah akan bisa disalahkan oleh yang lain ketika mendengar itu. Ia marah, kesal, jengkel, dan sedih. Karena semua orang tahu, bagaimana keluarga ini menghancurkan anak-anak mereka. "Kalau lo nggak bisa jaga Nyokap gue. Tinggalin! Kenapa masih minta dia bertahan di rumah... nggak bukan rumah kalau bikin tersiksa!" Sam meraih kuat kerah papanya.

"Maaf, nak!" Hanya kata itu yang sanggup di ucapkan. Keluarga yang berantakan. Tidak ada yang beres. Lelaki ini, dia adalah Papanya Sam. Arsena Diwandra. Sam adalah anak kedua, ada abangnya yang mungkin sudah menyambut para pelayat. "Maaf..." Lelaki itu jatuh bersimpuh. Memohon  maaf pada putra bungsunya.

"Maaf buat apa? Mama emang nyuruh Anda buat nikah sama perempuan itu. Tapi paling enggak lepasin Mama saya!" Sam melempar kasar tubuh Ayahnya itu. Ia beralih pada tubuh dingin yang terlihat sangat damai dalam tidurnya. Ia menyesal, harusnya dia bersikeras membawa mamanya kabur dari rumah ini. Harusnya dia memaksa mamanya cerai, harusnya dia tidak pergi ke sekolah tadi. "Maa ini Sam, Mah..." bisik anak itu pada Ibunya yang entah dengar atau tidak.

Pemakaman dilakukan hari itu juga. Sam tidak siap, ini bukan waktu yang tepat. Tidak, tidak akan ada waktu yang tepat untuk merelakan kepergian seseorang yang ia cintai. Ibunya berjuang sendiri di rumah ini. Bahkan ketika mendengar Ayahnya itu menghamili seorang janda anak satu yang seumuran dengannya, ia hanya pasrah. Berulang kali ia meminta Mamanya untuk pisah, tapi cinta yang mamanya punya itu terlalu gila. Sakit-sakitan, alasan lain yang tidak memungkinkan mamanya untuk meninggalkan rumah. Alasannya? Mamanya tidak punya keluarga lain di Indonesia. Adiknya pergi ke Amerika setelah kematian orang tuanya, kakek dan neneknya Sam.

Morning in the Night (end)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt