Virsa menutup bukunya dan berdiri dari duduknya. Ia menoleh dan tersenyum lesu pada Dyan. "Ayo, Kamu ngga mau dihantam Pak Bagas lagi kan?"

"..." Dyan berdiri dari duduknya dan meletakkan buku yang tidak ia baca sama sekali tadi. Kemudian ia mengulurkan tangannya. "Buku lo."

Ah, seharusnya Dyan tidak menawarkan bantuan. Pasti Virsa akan kembali menggodanya-

"Oke." Virsa tanpa basa-basi meletakkan bukunya di tangan Dyan. "Aku tunggu di depan." Kemudian Virsa pun segera melangkah keluar dari perpusatakaan.

Dyan tertinggal speechless. Ia makin bingung dengan situasi yang terjadi saat ini. Padahal itu sebuah kesempatan bagi Virsa untuk menggodanya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa? Apakah Virsa benar-benar marah? Apa ia harus menjelaskan pada Virsa? Tetapi seharusnya ia senang! Virsa jadi tidak menganggunya. Lalu mengapa ia malah merasa gelisah?!

"... Gue ketularan gila," Gumam Dyan. Ia pun segera meletakkan buku Virsa dan menyusul keluar dari perpustakaan.

•••

"Lu marahan ya ama Virsa?" Tanya Varrel.

"Iyakan? Gue juga nyadar," Sahut Arsa.

Dyan terdiam. Bagaimana bisa kedua temannya ini langsung menyadarinya. Tetapi ia sendiri juga bingung. Apakah ini termasuk marahan? Virsa tidak benar-benar menjauhinya atau memarahinya. Tetapi memang auranya menjadi sedikit berbeda.

"Tau dari mana?" Tanya Dyan balik.

"Buktinya ini jamkos tapi dia ga ke sini. Malah tidur," Ujar Arsa.

"Tapi aneh ga sih? Tumben jam Pak Bagas kosong. Sampe pulang lagi!" Ujar Varrel.

Arsa menatap Varrel kesal dan menarik telinganya. "Jangan OOT kocak."

Sebenarnya, kebiasaan Virsa kalau jamkos memanglah tidur. Tetapi melihat ini juga kesempatan untuknya menganggu Dyan, aneh kalau dia tertidur. Atau mungkin Virsa hanya kelelahan dan Dyan kepedean?

"...Entah," Jawab Dyan.

"Dih! Gimana sih lu!"

"Dia ga bilang apa-apa."

"Ya, justru karena itu berarti dia marah ama lu."

Dyan menghela nafas. "Tetapi dia ngga ngejauhin gue." Itu memang benar. Sepanjang perjalanan dari perpustakaan menuju kelas tadi, Virsa masih berceloteh di sampingnya. Walau lagi-lagi, dengan aura yang tidak mengenakkan.

Arsa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Coba jelasin tadi lu ngapain ama dia."

Dyan sebenarnya malas. Tetapi dua temannya ini telah berpengalaman. Ia mempertimbangkan untuk meminta solusi dari mereka. Mungkin mereka bisa membantu bukan?

Akhirnya Dyan pun menceritakan seluruh kejadian sejak Virsa bertingkah aneh. Setelah mendengar seluruh kejadian yang terjadi, Kedua temannya menatapnya kecewa. Hal itu membuat Dyan makin bingung dengan heran.

"Masak iya sih, Lu se enggak peka itu?" Tanya Varrel.

"Gue ngerti! Cewe bakal ga suka. T-tapi gue ga mau kepedean. Gimana kalau Virsa bahkan ngga peduli sama sekali tentang hal itu? Ntar gue malah diketawain!" Ujar Dyan.

"Terus?"

"H-hah?"

"Bukannya lebih baik lu diketawain daripada bikin dia gelisah?" Ujar Arsa. Dyan terdiam.

"Ngga cuman dia, lu juga gelisah kan?Keliatan dari tadi lu ngeliatin Virsa." Dyan membelalakan matanya. Benarkah? Ia memandangi Virsa dari tadi? Tetapi memang benar, bahwa Virsa membuatnya merasa enak dari tadi. 

"Lagian nih ya, gue yakin kalaupun lu kepedean, Virsa bakalan seneng banget ndengernya. Itu lebih baikkan daripada ending lu ngediem in dia padahal dia lagi gelisah?" Jelas Arsa.

Kemudian tiba-tiba Arsa menarik kerah Dyan. "Kejar atau Kehilangan."

Dyan menatap dalam mata Arsa. Ia terdiam. Kalimat itu berhasil menutup rapat mulutnya. Seperti telah menyadarkan Dyan sesuatu. Tetapi apa? Apa yang ia sadari? Mengapa ia malah menjadi lebih gelisah?

Dyan melepas cengkeraman Arsa dan mendorongnya. "N-ngomong apa sih!" Gertak Dyan.

Arsa hanya membalas Dyan dengan senyumannya. Dyan merinding melihatnya. Mungkin ia mulai berpikir bahwa senyuman itu menyeramkan, sama dengan pendapat Virsa. 

Mengingat hal itu membuat Dyan tanpa sadar tersenyum. Namun dalam sekejap senyumannya itu luntur. Ia lagi-lagi kembali mengingat gadis it.

"Ah... Virsa lagi."

"Sebenernya lu pernah capek ga sih, Vir?"

"Stop lari-lari di pikiran gue."




Weirdos.Where stories live. Discover now