Tujuh bunga mawar

42 21 3
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Happy reading

***

Malam hari di temani hujan yang sedari tadi tak berhenti. Rana menimang-nimang Haya agar tenang. Dengan perasaan yang khawatir Rana beberapa kali melihat ke arah jendela, mengecek apakah Aarav sudah kembali. Setelah dua puluh menit Rana menimang-nimang Haya untuk tidur, Rana segera mengecek ponselnya karena berdering.

"Hallo."

"Rana, sepertinya hari ini saya pulang larut malam lagi," ucap lelaki dari sebrang sana. Rana hanya mengangguk seraya tersenyum paksa.

"Iya, mas." Rana hanya menjawab itu saja, ia tidak berbicara lebih pada suaminya.

Saat panggilan suara terputus, Rana segera menidurkan Haya pada kasurnya. Wanita dengan baju rumahan itu diam terduduk di kursi kamarnya. Dengan tangan yang mengepal kuat, matanya tak bisa bohong air mata luruh begitu saja. 'apa aku menyesali pernikahan ini?' Rana membatin.

'Rasanya ingin kembali dan memperbaiki semua ini.' Tangin tanpa suara membuat Rana sesak dalam hatinya. Lagi dan lagi kata itu terucap di dalam hatinya.

***

"Aarav!" Suara berat dari arah pintu terdengar jelas, membuat pemilik nama menoleh mencari sumber suara.

"Sebelum kamu pulang, ada hal yang ingin saya sampaikan." Aarav mengangguk dan mempersilahkan atasannya untuk duduk.

"Jadi, begini. kamu sendiri tau, kalo perusahaan kita sendang penurunan penghasilan." Aarav mendengarkan kalimat-kalimat yang atasnya katakan.

"Kamu bekerjasama dengan baik, sangat baik. Kamu layak bekerja di perusahaan yang lebih besar," ucapnya seraya menepuk pundak Aarav.

"Jadi, apa yang bapa akan sampaikan?" tanya Aarav.

"Sebelumnya, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya. Besok kamu tidak bisa lagi bekerja disini." Lelaki paruh baya itu mengeluarkan  beberapa kertas lalu menyerahkannya.

Aarav diam tak menjawab, mencoba mencerna apa yang dikatakan atasnya. 'di pecat?'

"Tapi, alasannya apa, pak?" tanya Aarav seraya membaca kertas yang tadi diserahkannya.

"Kami harus mengurangi jumlah karyawan, kerena kami takut tidak bisa memberikan gaji yang seusai."

"Saya yakin, kamu bisa bekerja di tempat yang lebih baik. Saya akan bantu."

Awalnya Aarav kecewa karena ia sudah bekerja lebih dari empat tahun. Saat itu, dirinya hanya bekerja sebagai penyampai informasi yang jam kerjanya hanya dua kali dalam seminggu.

Aarav tetap memberi senyuman sebagai cara menghargai keputusan dari atasnya. Beberapa menit mereka habiskan untuk mengobrolkan hal itu.

Aarav melihat jam di tangannya, ternyata sudah pukul satu malam. Sebelum Aarav keluar dari dalam mobil, lelaki itu lebih dulu menyembunyikan surat yang tadi diberikan.

Aarav memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, lalu dengan langkah yang ragu Aarav melangkah menuju pintu utama. Tangannya perlahan mengetuk pintu, setelah beberapa kali Aarav mengetuk pintu akhirnya terbuka dan menampilkan istrinya dan anaknya yang berada di gendongannya.

Tertulis Indah (TERBIT)Where stories live. Discover now