chapter 17 - puncak acara

Start from the beginning
                                    

"... Orang ... kamu ... kaki tangan ...."

Dahiku berlipat, semakin mendekat dan berusaha menangkap suaranya lebih jelas. Akan tetapi saat itu, ia keburu tutup usia. Aku melongo, telanjur penasaran dengan apa yang ia ucapkan. "Hei, jangan mati dulu! Hei! Hei!"

Kuguncang bahunya, mengerang. Berani-beraninya dia mati setelah membuatku tertarik!

Tapi, ya, sudahlah. Mari abaikan. Siapa tahu dia hanya ingin merusak fokusku. Masih tersisa hambatan yang belum kuatasi. Seharusnya sih ini perkara yang lebih mudah.

"Nyonya," terperangah wanita itu melihatku yang melenggang bebas di ruang tengah.

"Hai," sapaku.

Ada apa?

Mengapa Ahjumma mundur perlahan?

Oh, iya. Di matanya, kan, aku orang yang tidak waras.

"Ba–bagaimana Nyonya bisa lepas?"

Aku cengegesan sembari melintasi meja. "Tentu saja karena dia melepaskanku. Ternyata dia orang yang baik, ya?"

Wanita itu kian ketakutan dan memperlebar jarak dengan cepat. "Benarkah ... Tuan yang melepaskan anda?"

"Iya. Kalau kamu tidak percaya tanyakan saja sendiri. Dia sedang tidur di kamar. Tapi kamu harus pelan-pelan. Jangan sampai mengagetkan karena sepertinya dia sedang sangat lelah. Dia tidur nyenyak seperti mayat."

"... Nyonya tidak sedang berbohong, kan?" Ia terus mundur, menghindari pertemuan kami.

"Untuk apa aku berbohong? Periksalah kalau kamu tidak percaya." Menunjuk arah atas dengan dagu. "Tapi kali ini Tuanmu memilih tidur di lantai. Katanya dia lebih suka di sana. Biarkan saja, oke. Dia sedang beriap-siap sebelum selamanya tidur di tanah."

Ahjumma tercengang setelah sempat terdiam, ia baru selesai membedah perkataanku. Lantas membelalak dan tergesa menuru tangga.

Bukan menyelamatkan diri, malah ingin memeriksa majikannya. Dia bawahan yang sangat setia. Aku terkesan.

Dalam pengajaranku, Ahjumma berteriak-teriak seakan aku zombi yang siap melahap otaknya. Di antara kami berdua, tentu saja aku yang lebih unggul sehingga bukan hal sulit untuk menyejajarinya di ujung tangga.

Kami terlibat pergulatan sengit karena ternyata ia sanggup melakukan perlawanan tapi ugh, dia menjambak rambutku sampai aku agak oleng.

Dasar wanita! Tangannya selalu tertuju ke kepala! Menyaksikan sekian helai suraiku melayang dan jatuh mengenaskan sebagai korban, aku membeliak.

Tck. Aku keliru. Ternyata dia cukup sulit dilumpuhkan dan jadi bringas saat terpojok. Nah, seharusnya dia liat dirinya sekarang. Persis pasien rumah sakit jiwa. Menyusahkan.

Sial, aku terpeleset. Ia berada di atasku, terus menyasar kepala dan sesekali terbentur. Untuk sesaat, aku bingung dari mana ia mendapatkan tenaga sebesar ini sampai-sampai aku serasa berkelahi melawan berung madu.

Ia baru terpukul mundur setelah aku melayangkan tendangan pada perutnya. Di sinilah fungsi senjata terakhirku dan sebelum ia mampu bangkit, sebuah suntikan sudah tertancap di lehernya. Ini sisa racun yang kumiliki dengan dosis lebih besar dan dimasukkan langsung ke aliran darah. Sudah kubilang, aku akan membalas dan alih-alih dalangnya, wanita ini justeru yang paling membuatku jengkel.

Dia rubuh dan ya, sebab masih dendam, aku menggesernya hingga dengan sendirinya ia menggelinding sampai lantai bawah.

Aku bangkit, berkeliling mencari di mana pakaian dan barang-barangku disimpan.

Selesai menghapus jejak, di perempatan jalan aku menghubungi Manajer. Dalam tiga kali percobaan, seruannya menerobos telingaku dengan sangat ramah. "YA TUHAN HUANG RENJUN! KE MANA SAJA KAMU, HAH?! KAMU HILANG TANPA KABAR DAN ...."

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now