41. CinderAdek 🪄

4.7K 437 13
                                    

Selesai makan siang di kantin, Radit dan Rendi kembali ke ruangan Viona sambil menenteng dua bungkus soto untuk Adit dan Selina. Allen sudah "dipaksa" pulang oleh Rendi.

Setelah sampai di dalam ruangan, Radit meletakkan soto di atas meja makan.

"Makan ma," ujar Radit lembut.

Selina tersenyum ke arah Radit. Matanya berubah menjadi bulan sabit.

"Iya abang. Makasih ya," ucap Selina sambil tersenyum.

Radit dan Rendi ikut tersenyum, bahagia karena mama mereka akhirnya bisa kembali tersenyum.

Tidak lama setelah itu, Adit kembali dari ruangan dokter.

Selina, Radit, dan Rendi kompak menatap Adit dengan pandangan penuh harap.

"Pa, gimana?" Tanya Selina dengan suara pelan. Matanya menatap Adit dengan tatapan mata berkaca-kaca.

Radit dan Rendi menunggu penjelasan sang papa dalam diam. Mereka sangat ingin bertanya, namun takut akan mendengar sesuatu yang tidak pernah ingin mereka dengar.

Adit tersenyum lembut ke arah istrinya. Kemudian pria itu melirik soto di atas meja.

Adit kembali menatap Selina. "Makan dulu yuk ma. Papa laper," ajak Adit.

Selina tidak punya pilihan lain selain makan dulu. Karena dia tahu Adit tidak akan mengatakan apa-apa sebelum dia siap.

Radit dan Rendi yang diabaikan papa hanya bisa memutar mata mereka karena jengah selalu dianggap udara oleh papanya saat berduaan dengan mama.

Mereka lebih suka menemani adik kecil mereka ketimbang jadi obat nyamuk di siang bolong.

Radit mencium dahi kecil adiknya dengan lembut. Tapi sayang, gadis kecil itu masih setia menutup matanya.

Rendi bersandar di sisi ranjang Viona, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dengan energi yang diberikan oleh adik kesayangannya.

Radit dan Rendi terus menemani adik mereka, keduanya tidak bosan-bosan menghabiskan waktu dengan Viona meskipun tidak mendapat tanggapan dari gadis kecil itu. Mereka bahkan sanggup seharian duduk di sini hanya untuk menatap wajah tidur Viona.

"Boys, listen to me."

Radit dan Rian kompak balik badan saat Adit mulai berbicara.

Setelah melihat istri dan anak-anaknya memperhatikannya, Adit pun mulai menyampaikan diagnosa dokter atas Viona.

"Kata dokter, adek.. nggak bisa disembuhkan di sini," Adit berhenti sejenak untuk menyesuaikan tata bahasanya.

Informasi dan jeda yang Adit berikan membuat wajah ketiga orang dewasa di sana berubah.

Radit dan Rendi ternganga kaget dengan mata yang mulai memerah, sedangkan Selina sudah menangis di kursinya.

Adit gelapan saat melihat istrinya menangis. "Eh ma. Papa belum selesai ngomong," sela Adit. Pria itu kemudian mengambil tisu untuk membersihkan air mata yang mengalir dari mata istrinya.

"Papa mau bilang kalau dokter Aman menyarankan adek untuk dibawa ke Amerika. Di sana ada peralatan yang bisa menyembuhkan adek.

Tapi resikonya adalah adek tidak bisa sepenuhnya sembuh. Adek gak boleh capek dan gak bisa lari-lari lagi. Juga, ada saat-saat di mana adek tiba-tiba sakit dan tidak bisa berjalan. Tapi papa kira hasil ini sudah sangat baik," sambung Adit.

Radit dan Rendi sontak menghela napas lega, sedangkan Selina langsung mengungkapkan kekesalannya dengan memukul pundak Adit.

"Tapi adek gak bisa kaya dulu lagi," lirih Selina. Wanita itu dengan lemah menyandarkan wajahnya di dada Adit.

Viona (END)On viuen les histories. Descobreix ara