22. Heroine-nya Papa

7.2K 508 7
                                    

Adit memulai paginya di perusahaan dengan menandatangani segunung dokumen penting. Pria itu sangat sibuk karena ingin menghabiskan akhir pekan bersama keluarganya tanpa diganggu oleh urusan kantor.

Saat merasa lelah, Adit menoleh dan memandangi 3 pigura di atas mejanya. Bingkai pertama menampilkan foto keluarga mereka beranggotakan 6 orang dan dua bingkai lainnya berisi masing-masing foto Selina dan Viona.

Melihat foto-foto berharga tersebut, sebuah senyum merekah di wajah Adit yang biasanya dingin. Adit mengusap foto Selina dengan sayang.

Setelah mendapatkan cukup cadangan energi, Adit pun kembali melanjutkan pekerjaannya.

Tidak berselang lama, Adit menelpon sekretarisnya. "Jadwalkan saya rapat dengan direktur setiap departemen 10 menit lagi," perintah Adit yang langsung menutup panggilan.

Saat akan kembali melanjutkan pekerjaannya, rasa sakit samar-samar terasa di perutnya. Adit pun menghela nafas dan bersandar di kursi kerjanya. Pria itu menutup matanya untuk menenangkan diri agar sakit perut yang familiar itu cepat hilang.

Sakit perut Adit sedikit mereda, bertepatan dengan bunyi ketukan di pintunya.

"Permisi bos, semua direktur sudah menunggu di ruang konferensi," ucap Reno, asisten pribadi Adit.

Adit mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan mewahnya dengan wajah datar tanpa ekspresi, mengabaikan rasa sakit di perutnya yang belum juga hilang.

***

Bang Rendi
[Dek, abang denger bel sekolah adek udah bunyi. Kalian pulang cepat lagi ya? Mau langsung pulang atau mau tunggu abang dulu setengah jam lagi?]

Saat sedang beberes setelah bel pulang berbunyi, Viona menerima pesan dari abang ketiganya.

Gadis cantik dengan rambut diikat ekor kuda itu membaca pesan sang abang dengan mulut mengerut. Gadis itu merasa malas hanya dengan memikirkan harus berjalan ke gedung perkuliahan kakaknya yang berjarak 15 menit dari gedung SMP.

FYI. Setelah lulus SMA, Rendi masuk ke kampus milik Adit yang letaknya masih satu komplek dengan gedung TK, SD, SMP, dan SMA milik Adit. Alasan Rendi berkuliah di sana dan bukan di kampus yang sama dengan kedua abangnya adalah agar bisa menjaga adik kecilnya.

Rendi trauma dengan kejadian saat Viona TK, di mana dia diganggu di sekolah. Untungnya ada Rendi di sana. Lagipula, kampus Swasta milik Adit ini adalah salah satu sekolah medis terbaik di provinsi.

[Adek langsung pulang aja abang.]

Bang Rendi
[Ya udah, kalau gitu hati-hati ya! Sopirnya jangan lupa dihubungi.]

[Oke abang.]

Setelah selesai membalas pesan Rendi, Viona melihat jam tangannya dan ternyata Jumat kali ini mereka kembali pulang cepat karena anggota Pramuka akan latihan di sekolah untuk lomba pada bulan depan di Jepang.

Namun, alih-alih menghubungi sopir, gadis itu justru mencari taksi di gerbang sekolah.

"Lo gak dijemput?" Tanya salah seorang teman sekelas Viona saat mereka bergabung bersama puluhan murid Hermawan Junior High School yang berjalan menuju gerbang sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Gak Di, gue pulang sendiri," jawab gadis yang sudah duduk di kelas 3 SMP itu.

"Mau gue anter sekalian?" Tanya gadis bernama Audi lagi.

"Gak deh. Mau naik taksi aja," tolak Viona.

"Ya udah, kalau gitu gue duluan ya! Bye!" Pamit Audi yang memang sudah dijemput mobil jemputannya.

Viona (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu