53. Pembicaraan Antarpria

3.6K 301 9
                                    

Setelah Viona pergi, suasana mendadak berubah dingin. Kelima pria itu saling bertatapan tanpa ada tanda-tanda ada yang ingin mengalah.

Sebagai orang yang lebih tua, Adit dengan nyaman menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, kaki panjangnya tumpang tindih, dan kedua tangannya disilangkan di depan dada. Pria itu menunjukkan apa itu aura pemimpin yang sebenarnya.

"Allen?" Panggil Adit dengan suara baritonnya.

"Iya, om?" Sahut Allen yang tetap tenang meski tengah diintimidasi oleh empat pria beraura dingin itu.

"Kamu mau bawa anak saya kemana?" Tanya Adit dengan tatapan lurus ke arah Allen.

Allen dengan mantap membalas tatapan Adit. "Hari ini saya mau bawa kak Vio ke Central Park om."

"Yakin kamu bisa jagain anak saya?" Tanya Adit serius.

Allen dengan tegas mengangguk. "Yakin om. Saya bakalan jagain kak Vio dengan baik," jawab Allen.

"Kamu tau kan kondisi kesehatan anak saya sekarang? Dia gak boleh capek. Kalau misalkan dia capek, apa yang akan kamu lakukan?" Tantang Adit.

"Saya gendong om," jawab Allen tanpa pikir panjang.

"Eh, berani banget lo?!" Seru Rendi marah.

"Maksud lo apa? Jangan ngelunjak ya?!" Hardik Radit yang naik pitam. Siapa sangka pria yang otaknya sedang panas ini adalah seorang CEO yang ditakuti oleh para karyawannya di hari kerja.

"Tolong jaga omongan lo." Dosen muda yang biasanya tenang ini juga tersulut emosinya karena ucapan Allen.

Adit yang juga sangat marah, berusaha untuk tenang. "Ingat Dit, lo tu yang paling tua di sini. Huff," batin Adit.

"Allen. Saya ingatkan sekali lagi. Kalian hanya teman, jadi jangan melakukan hal yang melewati batas pada anak saya!" Tegas Adit dengan mata tajamnya yang menatap Allen dingin.

Meski dimarahi oleh keempat pria dewasa di depannya, Allen tetap tenang. "Saya mengerti maksud om. Saya pasti gak akan biarkan kak Vio capek. Kalaupun capek, saya akan bawa kak Vio istirahat dulu sebelum melanjutkan bermain," ujar Allen tenang.

Jawaban Allen ini akhirnya bisa sedikit meringankan kemarahan keempat pria itu. Meskipun masih terbesit rasa kesal karena jawaban sembrono Allen sebelumnya.

"Allen. Lo taukan kalau adek gue kakinya lagi sakit? Jadi jangan jalan secepat biasanya. Jangan sampai adek gue sedih karena lo. Kalau sampai itu terjadi, gue pastikan lo gak akan selamat dari bogem gue," ancam Radit dengan tatapan serius. Dia tidak akan main-main jika menyangkut perasaan adik kecilnya.

Allen mengangguk tegas ke arah Radit. "Pasti bang. Aku juga gak mau kak Vio sedih," sahut Allen.

"Allen. Jawab yang jujur. Lo murni temenan sama adek kami?" Tanya Rian to the point. Pertanyaan ini telah mengganggunya dari semenjak pertama sekali melihat interaksi Allen dan adiknya. Pria itu ingin mendengar jawaban langsung dari bibir Allen.

Allen terdiam lama karena jawaban Rian. Haruskah dia jawab jujur? Tapi, kalau jawab jujur apakah dia masih bisa membawa Viona pergi hari ini?

"Lo banci kalau gak berani jawab," sela Rendi saat melihat keheningan yang menyelimuti Allen.

Allen juga setuju dengan perkataan Rendi. Ya! Gue lakik!

"Nggak bang, om. Dari awal aku nggak pernah berencana jadi temen doang sama Vio," jawabnya lugas dengan tatapan dalam.

See?!

Keempat pria itu kembali meradang. Meski sudah bisa menebak maksud Allen, mereka tetap marah ketika mendengar jawabannya secara langsung.

Help Mama! Ada serigala yang ngincar adek!

Rendi lebih dulu terprovokasi oleh Allen. Pria tampan itu segera bangun dan menghampiri Allen yang masih anteng di sofa.

Mata Rendi memerah karena marah. Giginya bergemelatuk saat dia menggenggam leher baju Allen. Pria itu menarik Allen hingga wajahnya terangkat dan menatap matanya.

Emosi tenang di mata tajam lawan bicaranya itu selalu berhasil menyulut emosi Rendi.

Adit dan kedua abangnya yang lain hanya menatap mereka dengan tatapan datar tanpa ada niat untuk menyela. Bisa dibilang, Rendi telah mewakili keinginan mereka.

"Eh. Lo ingat ya baik-baik. Adek gue itu masih kecil, jadi jangan punya pikiran kotor tentang dia!"

Wajah Allen memerah karena tercekik. Namun, meski begitu, pria itu tetap membalas tatapan Rendi dengan tenang. "Pikiran gue gak kotor kok bang. Gue cuma pengen jagain Vio dengan cara yang sah," jawab Allen tenang.

Ketenangan yang kembali membuat orang ingin meninju wajah tampannya.

Rian di sana menatap Allen dengan datar. Mata tenangnya membara dengan kemarahan yang tidak jelas karena jawaban Allen.

"Abang lagi ngapain?" Sebuah suara manis menyela pertarungan mereka.

Kelima pria itu kompak melihat ke arah gadis cantik yang diikuti oleh dua orang pelayan di belakangnya itu.

"Bang Rendi lagi ngapain?" Ulang Viona saat melihat Rendi masih belum melepaskan cengkramannya pada baju Allen.

Diingatkan oleh adiknya, Rendi segera melepaskan kain di tangannya.

"Bang Rendi cuma lagi bercanda sama Allen," jawab Rian lembut.

Pria tampan itu berdiri dari sofa dan menghampiri gadis cantik itu. Rian meletakkan tangan kirinya di pinggang ramping Viona, sedangkan tangan kanannya memegang tangan Viona. Dia kemudian membantu Viona berjalan selangkah demi selangkah menuju sofa.

Viona tersenyum lembut kepada abang keduanya yang paling lembut dan penyabar itu.

Viona pun dibawa Rian duduk di dekat Adit. Menjauh dari Allen.

Tidak berselang lama, Selina juga datang sambil membawa ponsel yang diminta Adit.

"Kapan perginya?" Tanya Selina kepada Allen.

"Sekarang tante," jawab Allen.

Karena jawaban Allen, Viona pun bangkit kembali.

Adit dan ketiga putranya memutar mata jengah ke arah pria yang berkepribadian ganda itu.

Karena Viona akan pergi, Adit dan ketiga putranya juga bangun untuk mengantarkan gadis itu ke mobil Allen.

"Jaga anak saya baik-baik," bisik Adit di telinga Allen saat Viona sudah masuk ke dalam mobil berjenis BMW itu.

Allen mengangguk mantap. "Baik om," jawabnya.

Setelah itu, Allen pun masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya keluar dari area manor keluarga Hermawan. Diikuti oleh tatapan tidak senang keempat pria di belakangnya.

Viona (END)Where stories live. Discover now