3. A Few Hours Before

15.6K 799 2
                                    

[This was my favorite song when i was in junior high. The meaning and music are amazing. No other purpose, i just want to share my favorite song a few years ago to you readers^^ ini pertama kalinya author mendengar lagu ini setelah sekian tahun berlalu, but it still makes my heart shaking🥲]

"Bang, papa beneran mau bawain kita mama baru ya?" Tanya Rian kepada Radit saat ke-3 bersaudara itu sedang berkumpul bersama di kamar Radit.

"Abang juga gak tau Yan," jawab Radit pelan dengan melamun. Bocah 9 tahun itu baru berusia 4 tahun ketika sang ibu pergi, sehingga ingatannya tentang sosok yang dipanggil ibu itu hanyalah samar-samar.

"Tapi bang, kak. Aldo bilang kalau mama barunya jahat sama Aldo. Kalau adiknya nangis pasti Aldo yang disalahin," ucap sebuah suara yang dari tadi diam.

Radit menoleh melihat sang adik bungsu yang sedang berbaring di atas boneka dinosaurus yang dibawanya dari kamarnya. Laki-laki kecil itu pun menghela napas pelan dan kemudian mengusap pelan rambut hitam tebal sang adik.

"Gak semua mama baru itu jahat kok dek," jawab Radit sambil menatap mata hitam sang adik dengan serius.

"Jadi mama yang dibawa papa besok baik? Adek pengen punya mama bang. Soalnya temen adek di sekolah semua punya," ujar Rendi bersemangat.

Radit kembali menghela napasnya namun tidak menyahuti perkataan adiknya. Dia tidak tau akan seperti calon mama yang akan datang besok, apakah akan lembut dan baik seperti ibu orang lain atau justru akan seperti ibu Aldo.

"Bang. Dulu mama kita gimana?" Celetuk Rian yang sudah merebahkan dirinya di samping Rendi.

Radit terdiam sejenak, menimbang cara mengutarakan pendapatnya. Karena di antara mereka, hanya dia yang paling lama menghabiskan waktu dengan mendiang ibu mereka.

"Abang sebenarnya juga gak terlalu ingat dek. Tapi yang paling berkesan buat abang mungkin kata-kata mama "kamu main sama nanny aja, mama mau pergi"," jawab Radit pelan seraya menggali kembali ingatannya yang sangat minim tentang sang mama.

Bukannya Radit anak yang pelupa. Namun, saat yang paling banyak dia melihat mamanya adalah ketika sang adik lahir dan saat mamanya pamit ketika akan bekerja keluar untuk waktu yang lama. Nanny pernah menjawab kalau mama hanya pulang ke Indonesia 2 Minggu dalam setahun saat Radit bertanya tentang keberadaan sang mama. Dapat dikatakan bahwa dia lebih sering bertemu papa dibanding mama pada saat itu.

"Udah-udah. Kita lihat besok aja bagaimana. Sekarang kita tidur yuk, udah jam 10," ujar Radit dengan nada orang dewasa dan menyelipkan selimut untuk kedua adiknya yang sudah berbaring, baru setelah itu dia ikut berbaring disamping ke-2 saudaranya.

*Sunday, 9:00 AM*

Adit berangkat meninggalkan rumah menuju apartemen Selina untuk menjemput sang kekasih dan kemudian membawanya ke rumah.

Pria berumur 30 tahun itu terlihat bahagia hingga terus tersenyum saat sedang menyetir, seperti remaja yang pertama kali kasmaran.

Adit sudah tidak sabar untuk segera melangkah ke jenjang baru dengan Selina, sehingga Vio dapat menjadi anaknya yang sah di mata hukum. Adit bahkan sudah mulai membayangkan betapa semaraknya rumah dengan tambahan putri kecilnya yang lucu dan menggemaskan.

Setengah jam kemudian, Adit sudah sampai di gedung apartemen Selina. Pria itu langsung menaiki lift menuju lantai tempat Selina tinggal.

Setelah membunyikan bel, pintu pun terbuka dan memperlihatkan Selina yang sudah cantik dengan dress polos selutut berwarna cream dan rambut digerai.

"Pagi mas, ayo masuk dulu," sapa wanita itu dan membuka pintunya lebih lebar mempersilakan Adit masuk.

"Morning yang, you look so beautiful today," ujar Adit dengan suara dalam sambil mengecup pipi Selina setelah keduanya berada di dalam rumah.

Selina tersipu hingga pipinya merona kemerahan, apalagi saat bertemu pandang dengan mata Adit yang mentapnya dalam.

"Baby girl kita mana yang?" Tanya Adit sambil melihat sekeliling ruangan mencari Vio yang tidak kunjung terlihat.

"Vio di kamar. Mas udah makan?" Tanya Selina.

"Udah. Mas masuk ke kamar boleh?" Tanya Adit meminta izin untuk menemui Viona di kamar Selina.

"Boleh. Sekalian mas nanti tolong bawain Vio ke depan ya. Aku mau buat susu untuk Vio dulu," jawab Selina dan berjalan menuju dapur.

Adit pun kemudian berjalan menuju kamar Selina yang berada di sebelah ruang tamu.

Setelah masuk ke kamar. Adit menelusuri sejenak dekorasi kamar Selina. Kamar bewarna beige itu hanya diisi perabotan sederhana seperti kasur, lemari, dan meja rias. Dan di samping kasur queen size, terdapat sebuah box bayi dengan gadis kecil yang sedang bermain di dalamnya.

Setelah menemukan Vio, Adit pun berjalan menghampiri bayi yang terlihat sedang asyik bermain sendiri itu.

"Vio," panggil Adit lembut setelah sampai di samping box bayi.

Mendengar seseorang memanggilnya, bayi mungil itu pun mengangkat kepalanya yang tadinya asyik mengemut jempol kakinya.

"Pa~" panggilnya disertai tawa dan tepuk tangan ketika melihat wajah tampan Adit.

"Sini yuk sama papa," ajak Adit dan mengulurkan kedua tangannya ke arah Viona, mengisyaratkan kalau dia akan menggendong bayi itu yang juga dibalas uluran dua tangan putih gemuk seperti akar teratai sang bayi.

Adit pun dengan senang hati menggendong bayi yang sudah cantik dengan dress pink selutut, kaos kaki beruang pink, dan bando bunga di rambut keritingnya.

"Cantik banget sih anak papa," goda Adit seraya mencium tangan dan pipi gembul gadis itu karena gemas, membuat Viona tertawa bahagia hingga menampakkan 2 gigi kelincinya karena mengira sang papa sedang bermain dengannya.

Melihat tawa bahagia Viona, Adit juga semakin bahagia dan melanjutkan menimbang bayi di lengannya dengan semangat. Diayunkannya Viona ke kiri dan ke kanan, hingga akhirnya mendudukkan bayi perempuan itu di pundaknya.

Viona yang pandangannya menjadi tinggi menjadi sangat senang dan segera memegang kepala Adit untuk menyeimbangkan tubuh gemuknya, ditepuknya pelan kepala Adit seakan memberi isyarat agar "kuda" itu berjalan.

Memahami maksud putrinya, Adit kemudian berjalan sambil memegang Viona di pundaknya menuju ruang tamu.

Tawa papa dan putrinya terdengar hingga dapur, membuat Selina hanya bisa geleng-geleng kepala. Wanita itu bahkan sudah bisa membayangkan Adit yang akan menjadi budak putri setelah mereka menikah nanti.

"Adek, minum susu dulu," panggil Selina ketika berjalan menuju putrinya yang sedang main kuda-kudaan dengan sang papa.

"Ma~" seru Viona dengan semangat empat lima dan melambaikan tangan mungilnya ke arah Selina, atau lebih tepatnya kearah minuman berwarna putih keruh favoritnya yang berada di tangan Selina.

Sudah paham, Adit pun menurunkan Viona dari pundaknya dan beralih memeluknya di depan dadanya.

"Nih," ujar Selina menyerahkan susu itu ke tangan Adit.

Adit segera menerima dot yang diserahkan Selina dengan senyum yang tidak hilang dari wajah tampannya dan memberi makan putrinya yang sudah tidak sabar untuk makan itu.

"Kita pergi sekarang yuk mas," ajak Selina yang diangguki Adit.

Mereka bertiga berjalan menyusuri koridor apartemen yang sunyi, yang juga akan menjadi titik awal kelanjutan hubungan mereka.

"Nanti kita mampir di toko kue dulu ya, aku udah pesan kue untuk anak-anak."

"Oke baby."






Viona (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang