34. Datang Tak Diantar

1.7K 179 74
                                    

"Ayah Anda mau bicara sebentar. Lima menit." Itu suara petugas Lapas Salemba, tempat Arlan menghabiskan sisa hukuman dan umurnya karena dakwaan KDRT dan pembunuhan terhadap istri sendiri sebelas tahun silam.

"Saya ada di jalan, Pak. Nggak bisa telfonan—"

"Kak, sebentar aja, ya. Nggak lama, kok," potong seseorang lain, bukan petugas tadi.

Emeraldi membatu kontan. Matanya melebar. Suara itu langsung membuatnya sakit kepala. Pitam pun sontak naik meliar ke ubun-ubunnya.

"Saya sibuk."

"Kak, sebentar."

"Ngapain panggil-panggil 'Kak'? Anda bukan adik saya!" sentak Emeraldi.

"Sebentar, Di, sebentar aja. Ayah janji cuma sebentar," mohon pria itu sungguh-sungguh.

"Saya mau muntah bicara dengan Anda. Takutnya saya malah muntah di jalan," hinanya penuh penekanan. Ingin sekali mencekik pria itu sebab rasa panas naik dari otak ke jantungnya.

"Iya, Di. Maaf, Ayah gangguin Adi. Ayah cuma mau bilang sesuatu yang penting banget ke Adi. Nggak lama, beneran." Suara orang itu memelan, melemah. Ia tak mau membantah hinaan sang anak. Lebih dari itu pun ia terima.

"Cepet, nggak usah banyak basa-basi. Langsung ke inti." Suara Emeraldi ia pelankan dalam supaya tidak ribut meskipun napas mulai naik-turun.

Untuk mengamankan posisi, Emeraldi menyelipkan ponsel di sela telinga dan helm, kemudian memajukan motornya menggunakan kaki agar minggir sedikit, tidak menghalangi akses tangga menuju teras dan pintu masuk kantor.

Ada diam yang dibuat Arlan. Ia senang dan terharu dapat bicara dengan Emeraldi setelah sebelas tahun tidak tahu kabar anak-anaknya. Tidak apa dicaci, yang penting dapat mendengar suara sang putra yang sudah berbeda, lebih berat dan lebih berani menantang.

Sudah banyak yang dilalui pria 50 tahunan itu dalam penjara, dari yang bisa ditahan hingga yang tak tertahan. Penyiksaan fisik dan verbal banyak dialaminya, dari yang biasa sampai yang tak masuk akal. Membuatnya menyadari kesalahan yang ironisnya telah terlambat dan tak berguna lagi walau diutarakan dengan sekolam air mata.

"Lo mau ngomong apa, sih? Ngomong cepetan!" Emeraldi mulai membentak geram. Sudah selesai meminggirkan diri, tapi pria di telepon itu belum bicara juga.

"Iya... Ruby gimana kabarnya? Pasti cantik banget ya sekarang. Dia kuliah atau kerja, Di?" tanya orang itu ekstra lembut.

Emeraldi merotasikan bola mata, benar-benar mual betulan lama-kelamaan.

"Nggak usah bertele-tele! Langsung ke inti aja. Ngerti, nggak? Gue banyak kerjaan!" balas Emeraldi bertenaga. Amarah sudah memenuhi dada lantaran luka hati seperti dicungkil-cungkil keluar.

Banyak sekali yang ingin Arlan ketahui. Namun, harapan itu terlalu tinggi. Anaknya tidak sudi membagi kabar apa pun untuk dirinya yang telah lama dikutuk si putra sendiri. Apalagi tentang Ruby, tidak rela Emeraldi membiarkan Arlan mengetahui tentang sang adik.

"Ayah cuma pengin tanya, Di. Nggak maksud apa-apa."

"Lo tuh cuma punya waktu lima menit, tolol! Ruby baik-baik aja. Gue bisa jaga dia. Lo jangan harap bisa ketemu dia. Gue nggak akan biarin mental dia rusak ketemu orang kayak lo. Cukup gue aja yang lo rusak, cukup ibu gue yang lo bunuh. Jangan ganggu adek gue! Cepetan, lo mau apa? Ngomong sekarang!" Hardikan Emeraldi kembali mengudara. Maniknya amat tajam dan berair mata, napas pun memburu lantaran limpahan emosi semrawut menghimpitnya, bercampur tak beraturan. Memori-memori kelam menumbuk-numbukinya sekarang.

Arlan pasrah dengan segala makian sang anak pertama. Alih-alih tersinggung, justru terharu lagi sebab Emeraldi yang dulu hanya bisa bersembunyi di balik tembok, di balik lemari, di dalam kamar, terdengar tumbuh jadi anak yang sangat amat kuat sekarang.

CAN'T HURT YOU BACK ✔️Where stories live. Discover now