12. Perbaikan

1.7K 166 123
                                    

Mama
Anna, idak perlu kirim2 duit untuk mama, cuman sejuta pulo... mending untuk laki kau bae dan adeknyo atau untuk papamu. Mama disini dibelanjoinyo banyak sama laki mama, jadi idak perlu lagi kau kirim2 duit, untuk kau bae duitnyo tu kalo cuman sejuta... la abes sehari itu kalo mama (Anna, tidak perlu kirim-kirim uang lagi untuk Mama. Cuma sejuta juga... lebih baik untuk suami kamu dan adiknya atau untuk papamu. Mama di sini dibelanjainya banyak oleh suami Mama, jadi tidak perlu lagi kirim-kirim uang, untuk kamu saja uangnya itu kalau cuma sejuta. Habis sehari itu kalau Mama).


Keesokan harinya. Pagi, pukul setengah sembilan. Dari kontrakan suaminya di Jalan Kayu Dua, Medianna berjalan kaki menuju rumah aslinya di Jalan Kayu Tiga. Melewati rumah-rumah, minggir ke pinggir selokan saat ada kendaraan, sesekali menyapa dan tersenyum ketika berpapasan dengan warga.

Pesan mamanya tadi malam sudah dihapus guna menghindari sedih berkepanjangan. Belum menjawab keingintahuan suaminya yang pagi tadi kembali bertanya. Malu menjelaskan. Dan walau sudah dilenyapkan, kumpulan tulisan itu masih terbayang-bayang di kepala Medianna.

Merasa tidak dihargai dan dilukai. Sejak mendapat gaji pertama sekitar setahun lalu, Medianna yang tergolong boros masih terpikir mengirim uang walau sejuta saja untuk sang mama di Palembang sana. Lantas, tadi malam wanita itu datang mematahkan hati Medianna, untuk yang kesekian kali dalam hidupnya.

Pantes aja... Mama jarang bilang terima kasih. Ternyata karena pemberianku nggak berharga di matanya. Kalau Bang Adam biasanya kasih berapa ya ke Mama? Medianna berpikir sambil masih berjalan.

Hari Sabtu, Medianna sudah libur hingga Minggu. Tidak seperti suaminya yang masih bekerja di hari Sabtu, lalu akan libur di hari Minggu. Nah, hari Sabtu begini, Medianna biasa menghabiskan waktu di rumahnya bersama abang dan ayahnya. Sepulang suaminya bekerja, barulah ia dijemput dan pulang bersama ke Jalan Kayu Dua.

Tiba-tiba, bersua dengan perempuan putih dan empat tahun lebih tua darinya, tengah menenteng seplastik putih entah apa, mungkin habis membeli sesuatu di suatu toko kelontong, yang pasti bukan toko Medianna sebab arahnya beda.

"Mbak Zahwa dari mana?" Medianna menyapa dengan senyuman setelah satu sekon berkontak mata.

Namun yang disapa, alih-alih menjawab, menatap saja tidak. Pura-pura tak lihat dengan raut wajah tak bersahabat, terus berjalan, padahal jelas-jelas sudah saling lihat.

Medianna menghentikan langkah ketika Zahwa melewatinya begitu saja. Menengok heran ke belakang, merasa tersinggung dengan cepat. Memangnya ia makhluk gaib yang tidak terlihat dan terdengar?

"Mbak Zahwa!" Medianna memanggil tanpa pertimbangan, tak gemar basa-basi lama.

Tampak Zahwa mengerem dua kakinya, lantas menoleh ke belakang. Medianna berjalan ke arahnya, kemudian mereka berdiri berhadapan.

"Ya, Na?" tanya Zahwa mencoba biasa.

Tidak langsung menjawab, Medianna menatapi Zahwa beberapa saat. Tak ada senyum murah di bibirnya. "Mbak kenapa nyuekin aku begitu? Aku ada salah?" tanyanya langsung.

Jantung Zahwa berdegup kuat. Gentar. Tak menyangka Medianna akan membahas berhadapan. Namun, tak mau tampak bak pecundang, lantas Zahwa berdeham. "Sorry, Na, aku nggak lihat tadi soalnya lagi buru-buru mau ke kafe, mau kasihin ini juga ke Ibu." Ia mengangkat tentengannya sedikit.

Medianna menatap plastik putih bawaan Zahwa, lalu kembali menyorot empunya. "Nggak, tadi Mbak Zahwa lihat aku, kok, tapi Mbak jalan terus, nggak jawab pertanyaan aku. Ada apa sih, Mbak? Atau ada masalah sama Adi? Nanti aku bilang ke dia, deh."

CAN'T HURT YOU BACK ✔️Where stories live. Discover now