2. Anak Hilang

5.7K 467 122
                                    

APRIL 2015

Tiga tahun lalu di bulan yang sama, kakak-adik Emeraldi Nazata dan Ruby Nafita, kehilangan ibu mereka Kanita Sara untuk selamanya. Selain itu, mereka kehilangan kontak, rasa hormat, dan kepedulian pula terhadap ayah mereka, Arlan.

Emeraldi dan Ruby tahu, membenci orangtua mau ayah atau ibu, tidaklah patut. Namun, apalah daya ketika punya ayah seorang pembunuh? Bagaimana bisa memaafkan bila ibu tersayang dihilangkan nyawanya oleh Arlan, si Ayah yang tidak punya tanda-tanda penyesalan? Alasannya selalu "khilaf" dan "tidak sengaja", tiada alasan lainnya.

Penjara 20 tahun adalah ganjaran Arlan, sebuah hukuman yang menurut Emeraldi sangat tidak cukup tuk menebus kehancuran diri karena ditinggal ibunya. Jutaan kali mulut Emeraldi menyumpahserapahi hukuman di negaranya. Terlalu ringan dan lemah katanya. Kalau begini, para orang akan rajin membunuh lantaran hukuman yang tak seberapa.

Andai tidak ingat Tuhan, andai bisa berlaku brutal seenak jidat, pasti Emeraldi sudah lama menyatroni sel ayahnya, lantas mencekik pria itu sampai muntah-muntah dan mati habis napas.

Tapi ya sudahlah. Mau Emeraldi siksa Arlan sampai mati pun tidak akan mengembalikan ibunya yang sabar. Yang penting, Emeraldi membenci Arlan hingga atom-atomnya. Jantung selalu berdebar gusar penuh dendam setiap mengingat muka si pria. Bila Arlan memijaki suatu permukaan, Emeraldi akan membenci permukaan itu juga. Sebenci itu ia pada ayahnya.

Namun, lebih baik Emeraldi memikirkan UN SMA yang akan ia jumpai Mei nanti. Lebih baik mengajari Ruby yang masih kelas 4 SD itu cara menghitung kali dan bagi. Lebih baik mempertimbangkan penawaran Zahwa yang memintanya jadi peracik kopi. Lebih baik membalas kebaikan Bu Marni yang bersedia jadi walinya dan Ruby tiga tahun belakang ini.

Angin pendingin berembus-embus manja. Kesejukannya memenuhi sebuah ruangan bank cabang yang tidak terlalu besar, tapi lumayan menangani urusan finansial warga setempat. Orang-orang datang dengan ragam kepentingan. Sama dengan Emeraldi yang duduk mengantre di sana, mau mengambil dana per tiga bulannya dari pemerintah kelurahan. Ia ditemani dua teman lelaki sebaya, Prasetya dan Hasta.

Prasetya yang paling pendek di antara Emeraldi dan Hasta, tetapi ia tidak miskin seperti Emeraldi dan Hasta. Namun, Prasetya tetap setia kawan, menemani dua temannya mengambil dana bantuan sebelum mengunjungi rumah Pak Khairul, guru matematika sekolah merangkap guru les gratisan mereka.

"Habis lulus, mau kuliah di mana lo, Pras?" Hasta, si tinggi bermata bulat bertanya pada Prasetya. Ingin meluruskan kaki panjangnya, tapi tak bisa. Bangku besi yang diduduki empat orang di depannya menghalangi kakinya terbebas.

"Sedapetnya aja sih gue. Nggak terlalu pengin muluk-muluk. Minimal UNTRI," jawab Prasetya enteng.

"UNTRI mah nggak minimal, njir," gumam Hasta sedikit geram. Pasalnya, UNTRI alias Universitas Trijaraya adalah universitas terbaik di Indonesia untuk sekarang.

Emeraldi tidak peduli Prasetya tengah bercanda atau pamer otak cerdas dan uang banyak. Ia hanya menatapi nomor antrean di tangannya, tertulis 20 bercetak tebal. Sedangkan ibu-ibu yang sedang dilayani teller di depan sana adalah nomor antrean 18.

"Kalau lo mau ke mana emang, Has?" Prasetya bertanya balik pada Hasta.

"Mau langsung nyari kerjalah. Buat apa gue masuk SMK kalau nggak bisa langsung dapet kerja?" kata Hasta mecoba sombong.

Emeraldi tersenyum di ujung bibir, masih sibuk menatap nomor antreannya pada sela-sela jemari. Tidak terlalu memusingkan kawannya di kanan-kiri.

"Lo, Di? Lanjut kuliah, kan?" Prasetya, si orang kaya kembali mencari tahu rencana teman-temannya.

"Ditawarin jadi barista sama Mbak Zahwa," jawab Emeraldi tenang.

"Nomor sembilan belas!" seru teller secara manual, menengahi percakapan si dua anak SMA dan satu anak SMK.

CAN'T HURT YOU BACK ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang