3. Amat Menyukainya

4.7K 413 184
                                    

Pencet bintangnya dulu, ya... supaya peringkat di hashtagku bisa naik. Harapannya jadi bisa bikin cerita ini lebih banyak dibaca orang, hehe. Makasih udah mau bantu ya, Sayang☺️💜

.
.
.
.
.

APRIL 2018

Ada dua orang menyapu wajah setelah mengatakan "amin" di ujung doa. Kemudian, mereka saling senyum untuk menenangkan hati yang riuh dulunya. Tak terasa, sudah enam tahun Kanita Sara meninggalkan anak-anak berharganya. Baru saja, anak-anak itu selesai mendoakan sambil mengingat-ingat betapa cantik dan sabar dirinya.

Namun yang diingat Emeraldi saat memanjatkan doa tadi, Kanita lebih spesial, lebih spesifik, barangkali lebih pahit pula. Di benaknya tadi, terlintas-lintas lagi wajah memar Kanita yang menangis sambil tersenyum padanya. Mengatakan "Ibu nggak apa-apa" padanya, padanya yang masih kecil tanpa daya, padanya yang belum punya kemampuan, padanya yang belum bisa membela, padanya yang kini penuh dendam.

Ah, Ruby... ia lahir terlalu lambat. Beda sembilan tahun dengan kakaknya. Tak bisa menemani perjuangan sang kakak lebih awal. Tapi ada bagusnya, jiwa Ruby jadi tak perlu semengenaskan kakaknya. Walau sama-sama susah sekarang, tapi perbandingannya satu banding sepuluh bila diperhitungkan sejak kecil hingga sekarang.

Dapur sekalian ruang makan itu diterangi lampu led berdaya kecil. Tak banyak orang, hanya Emeraldi dan Ruby yang tengah makan nasi kuning-hidangan setelah doa bersama, peringatan enam tahun meninggalnya ibu mereka. Mereka duduk berdua di meja makan.

"Enak lho, Kak." Ruby mengomentari nasi kuning hasil karya tangan Emeraldi.

Yang merasa dipuji tersenyum puas. "Makan yang banyak, biar beratnya nambah," katanya seraya mengusap kepala sang adik.

Gadis 12 tahun itu langsung merengut. Kakanya sering sekali berkata begitu, menyuruh ia makan banyak supaya gemuk. "Kenapa sih pengin banget Ruby gendut?" tanyanya masih cemberut.

Adiknya selalu tampak tak suka, tapi Emeraldi malah terkekeh saja. "Supaya bisa Kakak cubitin. Kalau kurus kayak gini, mau nyubit apa?" Ia mencubit pelan lengan Ruby yang tidak ada lemaknya.

Ruby menatap lengannya dengan muka kesal masam, lalu menatap kakaknya dengan ekspresi yang masih tidak terima.

Emeraldi meraih kepala belakang Ruby, kemudian mengecup kening dan mengusap kepala sang adik. "Bercanda, Sayang," katanya sambil berdiri dari kursi makan.

Pemuda 21 tahun itu mengambil piring bersih dari lemari piring sederhana. Kemudian, kembali ke meja makan. Meraih sendok nasi, lantas menaruh tiga centong nasi kuning ke atas piring beling motif bunga. Tidak lupa, telur dadar yang diiris kecil panjang, bihun, tempe orek, dan sambal gorengnya.

"Buat siapa, Kak?" Ruby bertanya sambil mengunyah nasi kuningnya. Milik Emeraldi sudah habis duluan.

Sebelum jawaban dikeluarkan, senyum tipis penuh aneka rasa terulas lebih dulu di bibir si pemuda. "Buat Anna."

"Oh." Ruby menanggapi biasa. "Bu Marni sama Mbak Zahwa lagi nggak ada, sih. Nggak bisa ngerasain nasi kuningnya Kak Adi," komentar Ruby lagi, lalu meminum air.

"Nanti Kakak bikinin lagi buat Bu Marni sama Mbak Zahwa kalau mereka udah balik dari kampung," kata Emeraldi, tangannya mengambil piring plastik untuk dijadikan penutup nasi kuning.

Ruby mengangguk-angguk saja. Sejujurnya, lebih memikirkan oleh-oleh apa yang akan ia terima tahun ini dari Bu Marni dan Mbak Zahwa. Setiap tahun, kalau dua tuan rumah itu pulang kampung, pasti Ruby dan Emeraldi dibawakan oleh-oleh. Biasanya, Ruby dapat baju, atau sandal, atau gelang, juga kue-kue. Sudah tidak sabar Ruby pakai barang-barang baru yang katanya selalu pilihan Mbak Zahwa.

CAN'T HURT YOU BACK ✔️Where stories live. Discover now