7

54 13 0
                                    

"Gimana sekolahnya tadi? "

"Ya gitu, gaada yang spesial. " jawabnya pelan, kemudian mengalihkan pandangan ke depan, melihat kemacetan yang tak kunjung mereda saat itu.

"Dirga.. " ibunya memanggil lagi, dengan suara lebih rendah yang mampu membuat tubuhnya mengigil. "Kalau kamu ngelakuin sesuatu yang merugikan mama, mama nggak segan ngelakuin apapun agar kamu jera untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. "

"Jadi sebelum kamu menyesal, mama akan memperingati kamu lebih dulu. " lanjutnya.

Dirga mengangguk pelan, ekspresinya nampak tenang, namun hatinya diselimuti rasa waspada, menerka-nerka apa yang akan dilakukan sang ibu kedepannya.

Wanita itu sudah tahu apa yang terjadi. Dan sudah pasti, Liona tidak akan baik baik saja.

.....

Dahi Liona mengerut saat menemukan sebuah sisir didalam tasnya. Satu tangannya menarik sisir itu keluar, kemudian memutar mutar sisir itu dengan mata menyipit.

Pasti punya Dirga, pikirnya.

Ia menaruh sisir itu diatas meja, lantas tangannya meraih handphone yang terletak tak jauh dari tasnya itu, mencari whatsapp kemudian mengetikkan beberapa kalimat di keyboard handphonenya.

Liona
Sisir lo sama gue.
Besok gue balikin.

Dirga
Udah ambil aja.

Mata Liona menyipit, seolah tak percaya dengan kalimat yang dilihatnya barusan. Namun Ia memilih untuk tak ambil pusing, mengetikkan beberapa pesan singkat untuk dikirim ke pria itu.

Liona
Oke.

Gadis itu dengan cepat merebahkan tubuhnya diatas kasur, sembari memainkan handphonenya dengan malas. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi, hidup benar-benar membosankan. Ia termenung memandangi langit langit kamar karena bingung apa yang harus dilakukan. Sesaat Dirga melintas di pikirannya, ia mengernyit. Mengucapkan beberapa umpatan, ia memilih tidur.

Baru saja memejamkan mata, sekelebat memori tentang wanita yang menyapanya tadi siang muncul, membuat mata Liona seketika terbuka. Dia bangun, merasakan dirinya diliputi sensasi tidak nyaman. Semakin dipikir semakin menakutkan.

Seharusnya dia bersikap biasa saja, bukankah maklum jika orang-orang menyapanya? Tapi ekspresi wanita itu menyiratkan sesuatu, dia tidak mau mengambil kesimpulan begitu cepat, tapi tetap saja dia merasakan kecemasan yang tak bisa dijelaskan.

Menghela nafas, Liona beranjak dari kasur dan melangkah keluar kamar, menuju lantai bawah dimana ayah ibunya tengah berkumpul di ruang tengah, menonton TV bersama. Pupil ibunya membesar saat melihat kehadiran putri kesayangannya itu, kemudian memanggilnya dengan nada lembut.

"Tumben anak mama, sini sayang. " ujarnya sembari menepuk sisi sebelah sofa yang sedang dia duduki. Liona mengangguk, kemudian duduk disebelah ibunya lalu menyandarkan kepalanya di bahu wanita tersebut.

"Tumben banget keluar kamar, kenapa? " tanyanya lembut, sang ayah juga nampaknya mulai mengecilkan volume TV agar percakapan istri dan anaknya itu tidak terganggu oleh kebisingan.

Liona menggeleng, kemudian menghela nafas berat. "Gapapa sih, capek doang. " sautnya, merasa aman saat merasakan jemari sang ibu mengelus surainya dengan lembut.

...

Keesokan paginya, dia datang ke sekolah seperti biasa. Dalam perjalanan menuju ke kelas bertemu dengan Nazhifa, berhenti sejenak lalu berbincang-bincang sembari melanjutkan perjalanan. Saat sibuk berbincang, netranya tak sengaja menangkap seorang pria yang tengah berdiri didepan kelas sebelas mipa dua sembari membawa beberapa buku tebal.

Dirga: Love or Lie? Where stories live. Discover now