chapter 13 - hierarki

Start from the beginning
                                    

Keparat! Dia mengeluarkan cairannya di mulutku!

Aku tidak pernah terbiasa dengan rasanya dan selalu ingin muntah.

"Telan, sayang." Jemari panjang Jaemin menyingkap rambutku yang menempel di dahi, kuyup oleh keringat.

Dia terkekeh, seperti membasahi mukaku yang kacau dengan sisa pelepasannya adalah pemandangan yang menyenangkan hati.

Aku mendelik, terengah-engah menghapus cairan yang belepotan di tepi bibir. Tenagaku sudah terkuras banyak, tetapi malam masih panjang.

Jaemin menyejajarkan tubuh kami. Ia tersenyum sebelum menjilati bibirku, membersihkan sisa permianannya yang ada di sana. "Kamu sangat cantik jika sedang begini, Ren."

Perkara mudah baginya meraupku, pun membuang seluruh simpati dan melemparku ke kasur. Ia membuka lebar pahaku, lantas tanpa aba-aba memasukkan dua jari ke lubang senggamaku.

"Angh!"

Alisku merendah sekaligus mengerut tidak nyaman. Terutama Jaemin melakukannya dengan cepat sehingga bunyi becek yang terdengar cabul menimpali.

"A-ah-Jaem-ah ...."

"Tcih. Enak, huh? Kamu suka diobrak-abrik seperti ini?"

Aku menggeleng kencang.

"Benarkah? Tapi tubuhmu meresponsku dengan baik." Jaemin sangsi dan terdengar mengejek. Gerak tangannya cenderung barbar, memaksa pahaku yang selalu ingin menutup untuk tetap terbuka. Menambah jumlah jari, menyeringai. "Kamu menikmatinya, Ren, tidak usah munafik."

"Ng-hhhhh ...."

Badanku gemetar, pinggulku mengentak-entak tertahan. Sial. Kenapa reaksiku selalu bertolak belakang dengan akal sehat. Di saat begini, tubuhku justeru haus akan sentuhannya.

Plak!

Jaemin sudah tak segan. Dia menampar wajahku sampai berpaling, perih. Tenaganya tak kira-kira, seakan aku adalah musuh yang membuatnya dendam menahun.

Jaemin menarik keluar jarinya dengan kejantanan yang menerobos sebagai ganti.

"AH!"

Sama seperti kisah yang telah lewat, dia memperlakukanku tak lebih baik dari budak seks. Lalu aku akan ditinggal karena dia lebih suka menghabiskan sisa malam di ruang tengah.

Aku terkulai lemas, menyampir di pinggir ranjang. Sebentar lagi fajar menyingsing, tetapi yang paling kumau bukanlah kantuk, melainkan air. Aku ingin membasahi kerongkonganku yang kerontang. Pun membasuh tubuhku yang tidak berdaya. Aku benci, tidak tahan akan bau sperma yang melekat di tubuhku. Namun energiku ludes dipakai melayani nafsu buas, sekaligus menahan pukulan-pukulan ngilu yang membekas.

*

Dalam hitungan jam, aku kembali ke rutinitas seolah-olah baru bangkit dari tidur yang sangat berkualitas.

Pada siang menuju sore, aku menyelesaikan syuting acara Variety Show dengan perut kosong. Tersenyum cerah seperti tidak merasakan cacing-cacingku yang meronta minta diberi makan. Tidak apa, hal seperti ini biasa untuk orang di industri layar kaca- terlebih kalau mengambil peran sebagai badutnya. Kadangkala banyak yang tidak ingat jika produk yang mereka jajakan adalah manusia.

"Terima kasih atas kerja kerasnya," ujarku sembari menunduk sembilan puluh derajat kepada seluruh kru. Tidak hanya sekali dan harus pakai intonasi ramah. Tata krama katanya.

"Ne. Kamu juga sudah bekerja keras," seseorang menyahut dan sekarang tangannya sudah melingkar di pundakku.

"Ah, hyung. Terima kasih karena sudah memperlakukan kami dengan baik." Senyum selebar daun talasku bangkit atas nama formalitas. Pria tua ini ...

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now