Nara sendiri tidak paham apa itu cinta. Bukan. Lebih tepatnya tidak percaya dengan hal aneh yang disebut cinta. Melihat bagaimana rusaknya hubungan Papa dan Mama yang kerap kali diisi oleh bentakan memekakkan telinga, Nara tidak yakin apakah cinta itu betulan ada di dunia?

Kalaupun ada, mungkin hanya untuk orang-orang terpilih saja. Seperti Papa yang katanya mencintai Tante Arumi-Janda anak 1-dan belum lama meresmikan pernikahan mereka. Atau Mama yang kini berpacaran dengan salah satu dosen ditempatnya mengajar saat ini.

Mereka menemukan cinta.

Lalu Nara menemukan apa? Nara hanya korban cinta sepihak diantara keduanya. Ia hanya sebuah mesin yang diciptakan dari kesalahan.

"Seharusnya kamu gak lahir. Hidup saya akan baik baik aja seandainya kamu gak pernah lahir!"

Nara menarik napas panjang, sekelebat memori hitam menggumpal kental dalam ingatannya, membekas sampai terkadang ngilu hingga hatinya diremas oleh hal tak kasat mata.

Bola mata Nara memanas, ia tak ingin menangis, baginya sia-sia saja menangisi keadaan yang menyedihkan ini. Lalu tak sengaja matanya menangkap siluet Langit yang tengah membonceng seorang gadis, nampak begitu harmonis dan nyaman satu sama lain.

"Kali ini pun sendirian lagi, ya?" Nara terkekeh, merasa kasihan pada dirinya sendiri yang selalu ditinggalkan. "Semua orang kelihatan bahagia, gue kapan?"

...

"Lo tunggu disini."

"Rumah kamu belum berubah ya." Nacita tersenyum memandang halaman rumah Langit yang tampak asri. "Tante Kinan masih suka tanam tanaman hias?"

Tak ada jawaban dari Langit, meskipun begitu Nacita tetap melebarkan senyumnya sambil duduk di salah satu kursi. Matanya menatap punggung tegap Langit yang terlihat kesusahan membuka pintu rumah.

"Ck." Langit berdecak setelah akhirnya bisa membuka pintu. "Kita ngerjain diluar aja, lo gak keberatan, kan?"

"Enggak. Justru lebih adem disini."

Langit mengangguk. "Gue ganti baju dulu."

Dulu Nacita sering sekali diajak mampir oleh Langit, ia ingat setiap kali bermain Langit pasti selalu memasang senyum canggung, senyum Nacita berubah sedih andai saja ia tidak menolak Langit pasti hubungannya masih baik-baik saja sampai sekarang.

Tapi, kesempatan kedua nyata adanya, kan?

Bukankah ia masih bisa mendapatkan kesempatan itu asal berusaha?

"Lho Kak Cita?"

"Eh Dira?" Nacita kaget melihat seorang anak SMP yang masih dibalut seragamnya datang menyambut Nacita dari pagar rumah. "Baru pulang, Ra?"

"Iya, Kak." Dira mendekat sambil memasang wajah ceria. "Kakak kemana aja? Aku kangen banget. Ayok masuk kok duduk disini? Mas Langitnya ada?"

"Ahahaha aku ada terus sih, sibuk ngampus. Langit ada kok tadi lagi ganti baju."

"Cieeeeeee mau ngedate ya?"

"Apa ih." Nacita salah tingkah sendiri dengan ledekan tak jelas tersebut. "Mau ngerjain tugas kuliah, kok ngedate sih."

"Iya deh percaya," ujar Dira berkebalikan dengan ekspresi wajahnya. "Mau minum apa?"

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang