2. Langit dan Bumi

16 6 40
                                    

Kegelisahan kian terasa mencekik ibu dan anak itu yang sejak tadi duduk di ruang tamu. Juli melirik diam-diam kepada Mila yang meremas jari tangan di atas pangkuan. Begitu tatapan keduanya saling berserobok refleks mereka menghela napas panjang. Juli tahu sekali kalau ibunya sedang berusaha terlihat tenang di hadapannya. Meskipun begitu, Juli bisa menangkap raut khawatir yang terpancar dari sosok tersebut. Tidak ada yang lebih paham soal Mila selain Juli.

"Anak kurang ajar!" cibir ayah dengan suara bass yang terdengar mengerikan. "Awas saja kalau nanti pulang, habis pokoknya!" imbuh ayah terlihat kesal bukan main.

Sedari tadi Primura mondar-mandir tidak karuan dengan tangan terkepal kuat, seolah-olah hendak menggilas apa pun di hadapannya. Kaki besar dan badan tegapnya terus bergerak menyusuri lantai rumah dengan hentakan keras. Mata tajam Primura tak lepas memantau ke arah pintu utama yang tertutup rapat. Ada sesuatu yang sedang pria berperawakan tinggi besar itu tunggu. Asal tahu saja, ayah atau yang sering dipanggil Primura paling benci untuk menunggu, apalagi seorang yang ditunggunya telah menyebabkan masalah serius.

Kini ayah benar-benar sedang dalam mode singa. Ayah siap menyemburkan semua unek-unek dalam dirinya sebentar lagi. Ayah tak bisa tenang barang sebentar saja. Bahkan hanya untuk duduk pun ayah tak sudi. Jadi lah, Primura pilih berdiri sambil pasang ekspresi serius.

"Ayah, minum dulu ...."

"Aku nggak haus!" sentak ayah pada sang istri yang sebenarnya punya niat mendinginkan kepala Primura yang memanas. Jika saja bisa terlihat, mungkin kepulan asap sudah keluar dari kepala ayah.

Mendapati penolakan oleh suaminya lantas Mila meletakkan kembali gelas di atas meja. Dia mengamati sesaat pada Primura yang terlihat sedang menahan marah. Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa Mila lakukan selain diam dan menunggu. Mila bukan tidak mau berusaha lebih keras, hanya saja suasana akan semakin riuh jika suami sudah mengaktifkan alarm tanda peringatan.

Sementara itu, seorang remaja yang sedang ditunggu kedatangannya sampai di halaman rumah. Segera dia memarkirkan motor ke garasi lalu melenggang santai masuk ke dalam rumah tanpa beban. Lelaki itu tidak pernah tahu jika bahaya sudah menanti di dalam.

Baru dua langkah menapaki ruang tamu dia dibuat mendelik dengan jantung berdebar kencang.

BRAK

Sebuah gelas beling baru saja melayang lalu menumbuk dinding di belakangnya dan berakhir pecah berkeping-keping di atas lantai. Beruntung dia berhasil menghindar dan langsung dibuat mematung di tempat. Tentu jantungnya bergemuruh cepat sekali. Begitu sadar akan situasi, kini di hadapannya telah ada seorang yang menyambut dengan tatapan dingin.

"Baru pulang jam segini!" bentak ayah keras siap menguliti  Okto--anak tertuanya itu.

Bukannya menyahut Okto malah diam, tak menjawab. Anak itu justru mendengus kecil sambil menatap Primura datar. Alhasil  memantik emosi dalam diri Primura yang memang sudah tak terbendung.

"Kamu tidak punya kuping atau tuli?" sarkas Primura tidak peduli sekalipun kalimat yang dilontarkannya mengandung makian.

Dalam sekejap atmosfer di ruang tamu makin berat. Ayah berdiri sambil melipat tangan di dada, matanya melotot tajam pada Okto dengan raut tak bersahabat sama sekali. Sedang Okto tak banyak mengubah raut wajahnya yang terlihat menyebalkan bagi siapa pun yang melihat. Di sisi lain, Juli dan ibu yang menyaksikan hanya bisa membatin dengan perasaan gelisah tak menentu.

Sebelumnya, Juli dan Mila sudah habis dimaki-maki terkait masalah Okto sampai rasanya mual. Apalagi Juli yang merasa kesal sampai ke ubun-ubun. Dia tidak terima karena ikut disalahkan dan harus ikut menanggung beban akibat kelakuan Okto yang kurang ajar.

Mei bulan JuliTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon