19. Masalah

8 0 0
                                    

Empat manusia di meja makan tengah menikmati sesi makan malam dengan senyap. Mereka duduk melingkari meja berbentuk persegi yang mana Juli berada tepat di seberang meja ibunya duduk, dan bersebelahan dengan
Okto yang memang telah diwanti-wanti oleh Mila sejak tadi untuk tidak pergi ke mana pun.

Dari tadi Juli dan Mila beberapa kali kedapatan saling menatap, bicara lewat isyarat serta mengangguk pahit. Meskipun Juli tidak mau merusak acara makan tersebut tapi ibu sudah siap dan hendak buka suara saat melihat suaminya telah selesai makan.

Baru saja ibu membuka mulut, ayah lebih dulu berkata, "Gimana sekolah kalian?"

Kontan saja Juli mendelik dan nyaris tersedak. Baru juga dia merasakan firasat buruk tapi ayahnya sudah memulai duluan. Buru-buru diraihnya segelas air minum kemudian meneguk dengan rakus. Melihat tingkah Juli yang tak biasa membuat ayah kembali melayangkan tanya.

"Juli, Ayah tanya gimana sekolah mu?"

"Lancar, Yah," sahutnya berusaha terlihat tenang. Juli hanya merasa tak nyaman serta khawatir. Sebentar lagi bisa dipastikan akan ada badai besar di ruangan tersebut.

Ayah mengangguk sekali seraya berdeham. Senang mendengar jawaban Juli yang selalu positif dan tidak mengecewakan. Meski begitu, pandangan ayah tetap lurus menusuk seperti biasanya. Ayah selalu terlihat menyeramkan dalam kondisi apa pun, bahkan ketika dalam kondisi tenang. Pria bermata tajam itu kemudian bergerak pada Okto yang tak terpengaruh pada sekitar sekalipun debas berat ayah terdengar memecah hening.

"Okto, sekolah kamu gimana? Nggak ada masalah, kan?"

Okto tidak langsung menjawab melainkan masih santai mengunyah nasi di mulut. Butuh lima detik bagi cowok itu mendorong makanan masuk ke kerongkongan lalu melirik ke sekeliling, menatap anggota keluarga secara bergantian.

Juli sudah mendengkus saja diiringi jantung berlompatan, sedang ibu pasang muka gelisah tak tahan gundah. Lain lagi ayah, sikap pekanya mampu mengendus sesuatu yang tidak beres.

"Ada apa kok diam saja?"

"G-gini lho, Yah," sela ibu cepat sekaligus bingung harus memulai dari mana. Ibu lagi-lagi membuang napas berat ketika ayah mengangkat tangan kanannya untuk menghentikan ibu bicara.

"Ayah nanya sama kamu, Okto?"

"Aku diskor empat hari."

Bagai dilempari bom atom ayah langsung melotot tak percaya atas apa yang dia dengar barusan. Tatapan ayah berubah seketika dipenuhi segunung tanda tanya besar.

"Apa maksudnya! Jangan bercanda kamu!" Ayah berseru galak.

"Aku ngomong serius kok. Aku diskor empat hari," aku Okto mengulangi kalimatnya sama persis tanpa merasa bersalah apalagi menyesal.

Dahi ayah mengerut dalam tanda tak suka. Rahangnya mengetat keras mengetahui tabiat jelek anaknya yang tak pernah berubah.

"Kenapa? Apa kamu bikin onar lagi di sekolah, hah? Bisa-bisanya diskor, gimana ceritanya?"

Masih setengah percaya kemudian ayah menoleh pada Juli. Hanya pada putra bungsunya itu ayah menaruh rasa percaya. Sementara itu, Juli yang mendapat tatapan tak mengenakkan hanya bisa menelan saliva berkali-kali demi membasahi tenggorokan yang terasa kering kerontang. Benci sekali dia harus berada dalam situasi seperti ini secara berulang-ulang saat keributan terjadi.

"Juli, apa bener yang Abangmu katakan?" konfirmasi ayah ingin tahu yang sebenarnya. "Jangan berani bohongi Ayah, ingat itu."

"Iya, Yah, bener."

Lancar saja Juli mengakui fakta tersebut. Dia tak bisa lagi mengelak, mau bagaimana pun pada akhirnya ayah akan tahu cepat atau lambat. Seperti bangkai yang ditutupi baunya pasti akan tercium. Maka tidak perlu Juli menyembunyikan sesuatu dari Primura.

Mei bulan JuliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang