20. Seharusnya

6 1 0
                                    

Mei terus membuang napas secara cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mei terus membuang napas secara cepat. Niatnya ingin bermalas-malasan di hari Minggu malah terancam gagal. Pasalnya, Mei bingung harus bersikap seperti apa. Dia merasa serba salah. Dari tadi bergerak-gerak gelisah sambil melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Bahkan dia sengaja mengunci pintu tersebut sebagai pertahanan ganda.

Seharusnya Mei tidak melakukan itu. Entahlah, Mei hanya mengikuti hatinya yang dilema.

Bermain ponsel dan sekadar mencari hiburan terasa hambar, lalu dia beringsut ke meja belajar mengambil buku di tumpukan teratas dan membukanya. Alih-alih belajar dengan khusyuk, lagi-lagi fokusnya pecah. Tak ada satu kata pun yang singgah dalam otaknya setelah membaca materi fisika.

Tak butuh waktu lama Mei bangkit mendekati jendela kamar yang terbuka. Memandang sekilas ke arah luar. Napasnya kian memburu saat melihat sedan hitam terparkir di depan rumah.

Mei mendadak berjingkat ketika pintu diketuk oleh seorang yang sejak tadi dia hindari.

"Mei, Papa boleh masuk?"

Mei bergeming di tempatnya tanpa bersuara sekalipun sang ayah terus memanggil namanya. Menjelang siang papa datang ke rumah hendak menyelesaikan urusannya dengan mama, sekaligus memberesi barang-barang miliknya yang tertinggal. Begitu mendengar kabar tersebut dari mama, buru-buru Mei melarikan diri dan bersembunyi di kamar. Demi menghindari orang yang paling dibencinya saat ini.

"Mei?"

Ketukan makin terdengar tanpa jeda. Mei melempar mata awas tidak mau menyahut. Meski bertolak belakang dengan hati kecilnya dia malah memutar kunci pintu. Hingga akhirnya, papa tak lagi meminta izin dan langsung masuk perlahan begitu pintu dibuka lebar-lebar.

Jangan masuk!

Kalimat barusan hanya tertahan di tenggorokan kemudian tertelan ke dalam kerongkongan bersama dengan papanya yang mendekat.

Dua manusia itu kini saling tatap tapi terkurung dalam senyap. Mei jelas tidak tahu harus berucap apa untuk memulai obrolan. Dia masih marah, teramat dalam saat melihat sosok di depannya.

Sementara itu, papa pasang muka sedih sekaligus kikuk. Papa terlihat tidak nyaman sama halnya dengan Mei. Hubungan mereka terlanjur rusak. Sulit rasanya untuk tetap bersikap biasa saja seperti sedia kala, sebelum papa mengubah segalanya.

"Gimana sekolah mu, Mei?"

Pertanyaan basa-basi papa membuat Mei muak. Cewek itu mengernyit tak suka. Sebab bukan itu yang ingin Mei denger.

"Apa peduli Papa?" ketus Mei begitu saja karena kadung dongkol, sedang papanya terkejut mendengar balasan yang tak ada ramah-tamahnya.

"Papa peduli, nggak pernah berubah Mei."

"Aku yang nggak peduli," sahut Mei terus terang. "Kalo Papa peduli sama aku, nggak akan nyakitin aku."

"Papa ...."

"Kalo nggak ada yang mau diomongin mending Papa keluar, aku mau belajar," pinta Mei diiringi nada bergetar. Diam-diam menahan sesak yang menghimpit dada.

"Kamu boleh marah sama Papa. Tapi tolong jangan benci Papa, Mei."

Tidak ada tanggapan hingga papa melanjutkan ucapannya yang terdengar memuakkan di telinga.

"Papa juga nggak pernah ada niat buat nyakitin kamu. Terlepas dari masalah Papa yang bikin kamu sedih. Papa juga nggak tau gimana bisa berjalan sejauh ini. Papa merasa sulit buat milih, maksud Papa antara mamamu sama mama Avril. Ada sesuatu yang susah dijelasin, kamu ngerti maksud Papa, kan?"

"Egois. Yang aku tau Papa jahat. Papa udah nyakitin Mama, aku, bahkan selingkuhan Papa sama keluarganya juga!" kesal Mei meluapkan isi hatinya. "Aku nggak ngerti jalan pikiran Papa gimana. Aku nggak mau denger apa-apa lagi."

"Tunggu, Mei?"

Papa berseru saat didorong paksa oleh Mei sekuat tenaga. Kini air mata anak semata wayangnya berderai-derai.

"Keluar!"

"Oke-oke, tapi kasih kesempatan sebentar aja buat Papa?"

Dengan terpaksa Mei berhenti mendorong tubuh papanya yang telah berada di ambang pintu. Mei memalingkan muka ke arah lain, tak ingin lagi memandang papa yang menatap lekat dan penuh rasa bersalah.

"Papa sayang kamu, Mei. Sampai kapan pun kamu tetep anak Papa," katanya terdengar sungguh-sungguh tapi Mei tak tergoyahkan. Tetap membuang muka sudi menoleh. "Maaf buat semuanya. Papa janji nggak akan bikin kamu sedih lagi."

Desah berat lolos kemudian saat papanya mulai beranjak. Namun, baru dua langkah papa membalik badan membuat Mei menahan napas sejenak.

"Mei jangan lupa hubungi Papa, ya. Papa pamit dulu."

Selepas itu pintu dibanting keras. Mei menangis sejadi-jadinya lalu merosot ke lantai keramik yang dingin. Mei tahu kali ini dia akan berpisah dengan papa untuk selama-lamanya.

Mei bulan JuliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang