16. Ternyata

13 5 13
                                    

Mei masih tampak lesu memandang keluar jendela

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Mei masih tampak lesu memandang keluar jendela. Kedua telinganya tersumpal earphone yang menyenandungkan nada bertempo lambat, instrumen musik penenang yang sering diputarnya disela-sela waktu kosong. Dengan sorot mata datar tak banyak yang Mei lakukan selain melamun dengan pikiran semrawut. Cukup lama dia berada dalam posisi itu, dagunya sengaja ditopang menggunakan tangan kiri. Masih lima belas menit lagi sampai bel masuk berbunyi.

Sesaat ingatannya mengantarkan pada sosok Avril yang ditemuinya tanpa sengaja. Melakukan gerakan kecil Mei menyapukan pandangan ke ruang kelas tapi tidak menemukan Avril.

Mungkin dia belum dateng. Batin Mei dalam hati. Dia ingin bertanya langsung pada Avril tentang orang tua mereka yang selama ini ada main di belakang. Mei yakin kalau secarik kertas yang ditemukannya di laci meja waktu itu pun ulah Avril.

Tak selang berapa lama sahabatnya datang terburu-buru sambil menapaki lantai keramik penuh semangat, sampai-sampai terdengar suara gaduh yang ditimbulkannya ketika berjalan.

"Meii!"

Jeritan Desya yang nyaring menembus gendang telinga. Padahal Mei sudah menyumpal telinga menggunakan earphone, sungguh dahsyat. Seketika Mei menoleh begitu Desya berhasil duduk di sampingnya sambil pasang muka serius.

"Kebiasaan deh, masih pagi lho," keluh Mei seraya menoleh pada sahabatnya yang telah sukses mengganggu acara melamun.

"Jahat, lo," rutuk Desya begitu buka mulut. Mimik Desya tampak cemberut dengan bibir mengerucut maju.

"Maksudnya?"

Desya mendesah sebelum balas bicara dan makin menatap sebal sahabat di hadapannya. "Lo jahat banget. Kemarin ke mana aja sih, sampe-sampe gue ditinggalin sendirian?" rajuk Desya membahas kembali soal belanja buku yang gagal total. "Lo nggak kasih gue kabar apa pun. Terus gue bingung dong udah kayak orang gila nunggu lo yang ngilang gitu aja. Bahkan sampe hari ini lo nggak juga ngabarin gue. Ke mana aja emangnya lo?"

Usai mencecar kalimat panjang barusan lantas Desya menarik napas sejenak. Matanya tetap menyorot tajam pada Mei yang terpaku di tempat.

Secara otomatis mulut Mei bungkam. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali terkatup saat Desya menginterupsi dengan tangan terangkat sebelah.

"Lo nggak tau apa kalo gue khawatir? Takut aja lo nyasar ke mana atau diculik atau apalah. Nyatanya lo baik-baik aja, Mei. Sia-sia gue cemasin lo, elah. Gue--"

"Maaf, gue salah Des," potong Mei dengan perasaan bersalah karena melupakan Desya begitu saja. Dia terlalu kalut kemarin dan pikirannya tidak bisa diajak bekerja sama."Gue beneran nggak ada niat buat ninggalin lo, kemarin itu ...."

"Apa?"

Desya jelas bertanya dengan rasa penasaran akut. Dia tidak mau mengendurkan perhatian. Bahkan kini dagunya sedikit naik menuntut jawaban.

Mei bulan JuliWhere stories live. Discover now