34

2K 143 7
                                    

Sakala menatap rumah di depannya lurus, diam di tempatnya sejak lima menit yang lalu tak membuatnya beranjak. Dia tidak melangkah mendekat, tidak juga menjauh dan pergi. Dia hanya diam di tempatnya tanpa melakukan apa pun. Hanya diam dengan pandangan lurus. Tampak ragu untuk mendekat namun enggan untuk beranjak.

Bahkan sejak lima menit yang lalu, dia tidak tahu harus melakukan apa. Segalanya bertambah runyam saat dia bahkan merasa cemas saat ini. Seumur hidup dia bahkan belum pernah merasakan perasaan segelisah ini. Dia selalu mendapatkan apa pun yang dia mau sejak kecil. Bersikap semaunya dan selalu mendapatkan segalanya dengan mudahnya. Dan kali ini dia berada di tempat yang jauh dari kata 'mudah' berada di keadaan yang jauh dari dunianya. Dan dengan bodohnya, dia tidak meminta pendapat siapa pun. Tidak bertanya dan meminta sara dari siapa pun.

Dia khawatir, cemas, dan gelisah. Maka dia memutuskan datang. Namun entah mengapa saat berada tepat di depan rumah-seseorang yng mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya, Sakala malah tidak tahu harus melakukan apa. Tidak mengerti harus bagaimana dan akan akan bertindak bagaimana selain kebingungan.

Menghembuskan nafas kasar, Sakala mengusap wajahnya kasar. Sampai pandanganya tidak sengaja jatuh pada jari manisnya. Yang tersemat sebuah cincin pernikahannya dengan Ceisya. Ia usap cicin itu lembut. Lama ia pandang sampai tanpa sadar bayangan wajah yang selalu tersenyum itu memenuhi kepalanya. Membuatnya mengepalkan tangan dan segera membawa langkahnya mendekat ke sebuah rumah sederhana. Rumah yang dia ketahui sebagai rumah kedua orang tua Ceisya.

Mendadak semua keberanian dan kenyakinannya timbul hanya dengan memikirkan Ceisya-yang mungkin saja saat ini sedang menunggu keberadaannya di dalam sana dan berharap akan kehadirannya.

Sakala berhenti di depan pintu, tepat di depan pintu bercat putih tulang. Dengan ragu-ragu ia ketuk pintu itu tiga kali. Pertama tidak ada jawaban, kedua pun Sakala belum mendapatkan balasan. Sampai ketukan ketig kalinya, barulah Sakala mendengar sahutan dari dalam, membuatnya melangkah mundur dan menjaga jarak.

Mendadak rasa cemas itu kembali hadir, kembali memenuhi relung hatinya juga pikirannya. Sampai di menit pertama dia hanya menahan nafas, mengepalkan tanganya dengan kedua mata tidak lepas memperhatikan pintu di depannya. Sampai pintu itu terbuka, muncul sosok yang seketika membuat Sakala tertegun. Lama dia terdiam dengan degum jantung yang berdebar menggila. Dia hanya bisa diam tanpa bisa melakukan apa pun. Sampai orang itu melangkah maju, mendekat dengan tangan menutup pintu di belakang tubuhnya. Sakala belum bisa melakukan apa pun selain diam.

"Mau apa kamu ke sini?" Pertanyaan bernada sinis dan penuh geram itu hanya bisa Sakala balas dengan helaan nafas panjang. Dia bergerak mendekat dan tersenyum kikkuk.

"Pa-"

"Siapa yang ingin kamu panggil papa? Apa kamu kira dengan menipu putriku, menjadikannya sebagai wanita murahan dengan menidurinya sesuka hatimu, kamu merasa pantas menyebut saya papa?"

Sakala mengepalkan tanganya erat, kata demi kata yang keluar dari bibir pria di depannya berhasil memajing segala emosinya, namun sekuat tenaga ia takan karena sadar jika saat ini bukan saatnya ia melampiaskan segala amarahnya. Segalanya akan bertambah runyam jika saja Sakala terpancing dan marah.

"Maaf, saya hanya-"

"Lebih baik kamu pergi dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi di sini! Jika tidak jangan salahkan saya jika saya akan mengusir kamu dengan kekerasan." Yusuf berbalik secepat kilat masuk ke dalam rumahnya tanpa peduli dengan Sakala yang kini bergerak mendekat.

"Pak, saya tahu saya salah. Tapi tolong beri saya satu kesempatan untuk menjelaskan semuanya." Mohon Sakala menahan pintu di depannya agar tidak tertutup. Menatap pria tua di depannya dengan tatapan memohon.

Suami Pengganti (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang