32

2K 144 4
                                    

Kedua mata itu menyorot tajam, nafasnya berembus kasar seiring dengan urat-urat leher tampak mencuat.

Disaat bersamaan, sebuah pintu terbuka dari luar. Muncul sosok laki-laki yang jauh lebih muda darinya segera melangkah tergesa-gesa. Tampak panik dan juga cemas.

"Tuan?" Dia tampak panik dan kepanikannya bertambah dua kali lipat saat menemukan pria yang ia panggil tuan menatapnya tajam. Tidak ada wajah ramah, atau bahkan tatapan bersahabat dari pria itu. Membuat pria muda yang baru masuk ke dalam ruangan itu bertambah cemas dan takut.

Meneln ludah susah payah, dia melangkah satu langkah. "Di mana Sakala?!" Pertanyaan bernada geram itu berhasil menghentikan langkah Willi. Dia berhenti melangkah dan terdiam kaku.

"I-itu,.."

"Dia benar-benar memilih wanita itu?"

Saat sebuah amplop terlempar ke atas meja, Willi hanya bisa menatap kertas itu lama. Menatap lurus tanpa mengeluarkan sepata kata pun. Sampai.

"Katakan padanya, kembali ke perusahaan atau aku yang akan membuatnya kembali dengan cara yang tidak akan pernah dia bayangkan!" Perintah Edwin penuh amarah. Nafasnya memburu seiring kobaran api terasa memenuhi seluruh aliran darahnya.

"Tuan, saya rasa-"

"Berhenti membelanya, Willi. Kau tahu jika kau berani melawanku kau akan bernasib sama seperti dia kan?"

Mulut Willi seketika terkatub rapat. Dia terdiam seribu bahasa tanpa berani membuka mulutnya. Di depannya saat ini, tuan Edwin benar-benar terlihat marah dan murka. Bahkan pria itu tidak mau repot-repot meminta sekretarisnya untuk datang memanggilnya, namun pria itu sendiri yang datang menghubunginya.

Menelan ludah susah payah, Willi menundukkan kepalanya tanpa berani menatap ke arah Edwin yang kini masih menatapnya tajam.

"Hubungi dia! Katakan padanya jika dia hanya punya waktu sampai jam dua belas siang ini. Itu pun jika dia masih ingin berubah pikiran, jika tidak. Jangan menyesal jika dia akan kehilangan semuanya." Edwin bergerak keluar dari balik meja, bergerak memutar dan melangkah ke arah Willi yang masih diam di tempatnya. Melewati pria muda itu begitu saja dan membuat Willi sedikit menundukkan wajahnya ketika tuan Edwin melewatinya.

*****

Sakala menatap layar ponselnya yang menmpilkan nama sekretarisnya, Willi. Sejak beberapa jam yang lalu-setelah dia mengirimkan surat pungunduran dirinya, sekretaris-ah ralat mantan sekretarisnya itu terus menghubunginya. Menanyakan keberadannya dan terus berusaha untuk membujuknya agar mereka bertemu.

Abai? Tentu saja itu yang Sakala lakukan. Dengan sengaja dia kini malah mematikan ponselnya, kembali memasukkan kembali benda pipih itu sebelum berbalik dan menatap seorang wanita yang kini baru keluar dari pintu toilet.

Senyum wanita itu terukir lebar saat kedua mata mereka bertemu, sejenak Sakala melirik ke arah samping. Di mana ada sebuah kotak yang isinya baru Sakala temukan pagi ini. Yang ternyata adalah tiket liburan.

"Gimana?" Tanya Sakala begitu Ceisya mengulurkan tangan, meminya dirinya untuk membantu wanita itu duduk.

"Aku kayaknya harus ganti susu deh. Masih mual dan eneg." Sakala mengangguk setuju. Sejak pagi istrinya itu memang mengeluh mual dan pusing. Bahkan dia bolak-balik toilet sejak tadi.

"Mau ke dokter?" Ceisya melirik pria di sampingnya, yang menatapnya dengan wajah lempengnya. Seperti biasa, wajah itu masih lempeng dan lurus. Seakan-akan tidak ada ekspresi apa pun yang bisa pria itu tunjukkan padanya selain datar. Bahkan jika tangan pria itu tidak mengusap punggungnya sejak tadi, sejak mereka duduk di sofa, mungkin dia akan berpikir jika pria itu sama sekali tidak peduli denganya. Tapi sayangnya, tangan pria itu bahkan terus bergerak di punggungnya, sesekali akan mengusap pinggangnya lembut lalu kembali naik ke atas punggung. Membuat Ceisya berdecak dan menggeleng.

Suami Pengganti (SELESAI)Where stories live. Discover now