KATASTROFA (CHAPTER 60)

45 7 24
                                    

Lo bener, Woong. Belum apa-apa gue udah kangen. Lo baik-baik aja kan?

Look, gue berharap lo ada di sini. Pelukan lo masih terasa. Gue kalah sama rindu yang lo sumpahi.

Aku menggeser layar ponsel ke bawah. Memperbesar foto tempat tidur yang Jeno kirim. Hanya ada guling di sebelah lengannya, bukan aku seperti yang beberapa hari lalu meringkuk di sana. Saat mendengar suara langkah kaki Juyeon menuruni tangga, aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku apron. Wajah itu muncul di ambang pintu dapur. Dia tersenyum sekilas dan menghampiriku yang sedang berdiri menunggu kedatangannya setelah beberapa hari ini dia lebih senang mengurung diri di ruang kerja. Dia bahkan tidak pernah lagi pergi untuk bekerja.

Setelah sadar dari mabuknya, dia tidak mau lagi mendengar panggilan gue-elo di antara kami. Sesuatu membuat Juyeon bersikap seperti anak kecil. Selain mimpi-mimpi buruk yang kadang mengganggu tidur pemuda itu, dia juga kerap kali berbicara sendiri saat tengah melamun. Menambah kekhawatiranku atas diri Juyeon yang menolak untuk kubawa ke dokter.

"Kamu mau sarapan di sini?"tanyaku sambil menatap wajahnya yang terlihat lebih segar sehabis mandi.

Juyeon menggeleng. "Aku harus pergi ke kantor sekarang."

"Ke kantor?"

"Aku mau berhenti."

"Apa?"

Juyeon mencengkram kedua pundakku. Sorot matanya masih menunjukkan rasa luka.

"Woong, tolong ngerti keadaanku sekarang."

"Iya tapi kenapa, Juy?"

Juyeon menghela napas. Dia tiba-tiba memelukku.

"Aku nggak mau terlibat apapun lagi yang menyangkut nama papa. Aku nggak peduli dengan jatah saham, posisi di perusahaan, atau warisan. Namaku sebagai anak hanya tercatat di atas kertas, tidak di hati pria itu. Dia juga nggak pernah memperlakukanku sebagai manusia sebagaimana mestinya. Semenjak kematian mama, aku merasa nggak perlu lagi menjalani tuntutan seperti dulu. Aku benar-benar ingin melepaskan diri."

"Tapi kan Mama_"

"Kamu nggak akan ninggalin aku karena aku bukan bagian dari Everest lagi, kan?"

"Kenapa kamu berpikiran kayak gitu?"

"Mungkin kita akan pindah dari tempat ini setelah aku melepaskan semuanya. Kita akan tinggal di rumah yang lebih kecil dan sederhana. Aku nggak tahu apa aku bisa meneruskan peninggalan mama. Restoran, rumah sakit, yayasan, aku nggak pernah mau mempelajari semuanya dulu."

"Kenapa aku harus ninggalin kamu hanya karena masalah ini? Kita bisa menjalani semuanya sama-sama Juy, apalagi kalau kamu memang pengen aku untuk ikut. Memang lebih baik kalau kita hidup mandiri, memulai segalanya dari nol."

"Tapi... itu artinya kita nggak bisa lagi mencari informasi apapun tentang ayahku," suaranya terdengar murung.

Kupeluk tubuh Juyeon dengan perasaan berbeda. Apa karena aku memang kasihan? Atau merasa bersalah? Atau memang aku mulai menyayangi pria itu sebagai pasangan hidupnya. Aku tidak mau membiarkan Juyeon menanggung semua sendiri. Ingatanku atas Jeno dan beberapa malam yang kami habiskan saja sudah cukup membuatku seperti orang jahat.

"Jangan khawatir, Juy. Sepertinya nasib baik masih memihak pada kita. Sekarang kita hanya perlu fokus untuk_"

Aku mengatupkan bibir ketika kecemasan tiba-tiba saja membangkitkan rasa mual. Kujauhkan tubuh kami sambil mencari udara yang lebih tawar.

"Kamu kenapa?"tanya Juyeon sambil memandangiku.

Aku menggeleng. "Sebentar."

Setengah berlari aku menuju toilet. Aku tidak sanggup menahan muntahan yang bergerumul dalam perut. Cairan asam lambung itu menjeluak, keluar dari mulut dan menyisakan pahit di lidah. Tubuhku gemetaran.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Where stories live. Discover now